Jelang Pilpres 2019, Antara #2019GantiPresiden, HTI dan Intelijen?

Jelang Pilpres 2019, Antara #2019GantiPresiden, HTI dan Intelijen?

Aksi Gerakan #2019GantiPresiden yang kian masif digelar di sejumlah daerah, tersandung kasus persekusi yang menimpa dua tokohnya, Neno Warisman dan Ahmad Dhani. Keduanya dipersekusi saat menghadiri kegiatan aksi #2019GantiPresiden pada Minggu, 27 Agustus 2018 lalu. Neno Warisman diadang massa di depan Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, dan tertahan di dalam mobil selama 9 jam. Sedangkan Ahmad Dhani tertahan di dalam hotel di Surabaya, karena didemo puluhan orang yang menolak aksi tersebut digelar di Surabaya. Gara-gara itu, aksi #2019GantiPresiden batal digelar. Beragam tudingan massa atas digelarnya aksi tersebut. Mulai dari tuduhan bahwa aksi #2019GantiPresiden provokatif hingga berpotensi memecah belah persatuan. Ada juga yang menuduh aksi yang dimotori politikus PKS Mardani Ali Sera itu telah ditunggangi ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI sendiri telah dibubarkan pemerintah dan status badan hukumnya dicabut. Pencabutan merujuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah berdalih kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ormas HTI lantas menggugat SK pencabutan badan hukum itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Namun, harapan mereka kandas. PTUN Jakarta menolak gugatan HTI. Majelis hakim menganggap SK Kementerian Hukum dan HAM tentang pembubaran HTI sesuai dengan aturan. Ihwal tuduhan HTI menunggangi aksi #2019GantiPresiden itu terlontar dari salah seorang anggota Banser Surabaya, Zainul, yang mengaku spontan memutuskan turun dalam aksi menolak deklarasi gerakan #2019GantiPresiden di Surabaya akhir pekan lalu. Sebab, Ia menilai gerakan itu inkonstitusional dan itunggangi eks HTI yang merupakan ormas terlarang. Karena itu ada indikasi merongrong wibawa NKRI dari aksi tersebut. Selain itu, Zainul menilai kelompok aksi yang mengusung isu ganti presiden itu arogan. Karena jelas, pihak Kepolisian tidak mengeluarkan izin untuk kegiatan mereka, tetapi mereka tetap datang. Padahal sebelumnya elemen masyarakat Surabaya juga sudah menolak. \"Jelas mereka sengaja ingin memprovokasi. Kegiatan tak ada izin dan ditolak masyarakat tapi tetap ngeyel dilaksanakan. Makanya kami spontan turun untuk menunjukkan sikap kami sebagai warga Surabaya,\" kata Zainul. Sementara Ketua GP Ansor Surabaya HM Faridz Afif menegaskan keberadaan puluhan anggota Banser dalam aksi menolak deklarasi Gerakan #2019GantiPresiden di Surabaya merupakan aksi spontanitas. Ia mengaku tidak menginstruksikan dan memberi perintah untuk turun dalam aksi tersebut. “Tidak ada instruksi dari Pimpinan Cabang. Kalau saya instruksikan turun, Bansernya enggak cuma puluhan. Minimal 2.000 orang,\" tegas pria yang akrab disapa Gus Afif dalam keterangan persnya. Ia mengungkapkan aksi Banser bersama elemen masyarakat di Surabaya di luar kontrol pimpinan Banser Surabaya. Namun demikian, secara pribadi, Afif mempersilakan kader Ansor dan Banser menyampaikan aspirasi mereka, termasuk soal capres dan cawapres. Menurutnya, hal itu sebatas ranah pribadi, tidak membawa nama organisasi. \"Dalam aksi itu sahabat Banser tidak membawa nama organisasi, mereka turun personal. Kasatkorcabnya saja masih di Lombok sebagai relawan. Hanya saja, karena mereka memakai atribut. Sehingga diidentikan sebagai sikap organisasi, padahal tidak,\" ujar mantan Waketum Pimpinan Pusat IPNU.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: