Pertahankan Tradisi Bubur Suro demi Anak Cucu
INDRAMAYU – Selain Ramadan serta Syawal, Muharam atau Suro menjadi bulan istimewa bagi sebagian penduduk di wilayah perdesaan. Terutama bagi orang tua alias sesepuh. Bulan Muharam diperingati mereka dengan cara yang khas dan telah dilaksanakan secara turun-temurun sebagai pusaka budaya. Tak hanya saat malam 1 Suro/Sura, mendekati tanggal 10 dalam kalender Jawa, mereka pun melaksanakan berbagai tradisi. Mulai dari berdoa bersama, makan bubur Suro, hingga refleksi diri semalam suntuk. Hal ini pun dibenarkan Pade Wijaya (65), sesepuh asal Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu. Di antara tradisi tersebut, salah satu yang rutin dilakukan keluarganya adalah membuat bubur suro bersama tetangga. Bubur ini dibuat dari campuran beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Disajikan dengan tujuh macam kacang berbeda. Tapi dia menegaskan, bubur suro bukanlah sesajen atau kepercayaan animisme. Bubur suro hanya lambang tradisi. Selain bubur suro, biasanya juga ada sekeranjang buah-buahan, kue dan aneka sayuran. “Untuk dimakan, bukan sesajen. Dibagi-bagi ke tetangga, sanak saudara, teman dan kerabat,” sebut Pade Wijaya. Walau diakuinya, bubur suro ini memang memiliki makna yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Umumnya adalah hal-hal yang positif. “Kalau dijelaskan panjang lebar. Nu penting mah, halal, sehat, bergizi dan nikmat. Dibagi kesemua orang menjadi sedekah, jadi ibadah dapat pahala,” ujar kakek 4 cucu ini. Dan menurut dia, terpenting dari mempertahankan tradisi bubur suro ini adalah agar anak cucunya mengetahui dan dapat merasakan kuliner khas para orang tua dahulu. Karena tradisi ini, semakin lama tampaknya telah termarginalkan dan hanya dilaksanakan kaum sepuh. “Jangan sampai anak cucu kita tidak pernah menikmati bubur suro. Makanya kita jaga terus tradisi ini,” tanda Pade Wijaya. (kho)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: