Hj Anah Suhanah Memilih Merawat Para Lansia

Hj Anah Suhanah Memilih Merawat Para Lansia

Tak sedikit para lansia di ujung hidupnya dalam keadaan memprihatinkan. Karena itulah, Hj Anah Suhanah hadir memberikan secerah harapan. Tak kenal pamrih. Tanpa lelah. Bagi Hj Anah, para lansia juga manusia. Berhak hidup layak hingga maut menjemput. NURHIDAYAT, Cirebon TERBIASA hidup sulit. Itulah Hj Anah Suhanah. Saat masa sekolah dulu, orang tuanya rela menjual apapun demi pendidikannya sebagai perawat di Jakarta. Saat itu sekitar tahun 1965. Dia masih sering pulang pergi dari kampung halamannya di Kabupaten Kuningan menuju Jakarta. Dalam perjalanan hidupnya, Hj Anah kemudian berani mendirikan Panti Werda Hasanah. Panti jompo yang berdiri sejak 5 tahun lalu di Jl Makmur, Kesambi, Kota Cirebon. Kini, nenek 8 cucu itu benar-bemar memilih menghabiskan masa tuanya dengan mengabdikan diri menjadi perawat bagi para lansia. Profesi yang jarang dipilih orang pada umumnya. Bukan tanpa alasan mendirikan panti jompo. Bagi Hj Anah, itu merupakan panggilan hatinya. Agar orang-orang berusia lanjut tetap hidup nyaman. Tidak telantar. Meski semua ditanggung sendiri. Dari biaya operasional hingga memenuhi kebutuhan hidup 10 pasiennya. “Jadi background saya kan memang perawat dan pernah bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo Jakarta. Saya merasa masih punya utang. Saya berhasil kan berkat jasa orang tua. Sekarang saya begini untuk menghargai jasa orang tua saya dulu,” ujar Hj Anah saat Radar Cirebon mengunjungi Panti Werda Hasanah, Senin (8/10). Tiga tahun bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di rumah sakit, ia kemudian keluar karena harus ikut suami dr Supono Asturi yang saat itu mendapatkan tugas dinas di Malaysia selama 7 tahun. Sepulang dari Negeri Jiran, ia kemudian memilih meninggalkan ibu kota dan tinggal di daerah. “Kebetulan waktu itu dapatnya di Cirebon. Suami saya dinas di Rumah Sakit Gunung Jati,” katanya menjelaskan. Perempuan asal Desa Galaherang, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan itu menceritakan, keinginannya mendirikan panti jompo berawal dari kegelisahannya hidup berdua bersama suami. Ia merasa sepi. Terlebih, keempat anaknya telah berkeluarga dan hidup mandiri bersama keluarga masing-masing. Dia yang senang bekerja lantas memilih mendirikan panti jompo untuk menampung para lansia, baik yang dititipkan oleh pihak keluarga maupun berasal dari jalanan. “Saya berpikir, saya mau ngapain. Sedangkan saya masih diberi umur, kesehatan, dan masih dipercaya sama Allah,” imbuh perempuan kelahiran Kuningan 15 Desember 1948 itu. Dari situlah, muncul ide mendirikan panti jompo. Berjalan mulus? Tidak. Semua anggota keluarganya sempat menolak keinginan tersebut. Tapi, perlahan, orang-orang di sekelilingnya mulai memahami maksud Hj Anah. Dia lantas mulai mengurus berbagai administrasi yang diperlukan untuk mendirikan Yayasan Hasanah. “Ini inisiatif saya sendiri. Saya pontang-panting mengurus perizinan dan lainnya,” tuturnya. Menjadi perawat bagi 10 lansia bukanlah pekerjaan mudah. Dia bahkan harus memandikan, menggendong, dan menyiapkan makanan pasien seorang diri. Setiap hari. Pernah mencoba mencari orang yang bisa membantu pekerjaan mulianya itu. Namun, berulang kali mencoba, berulang kali pula gagal. Dari beberapa orang yang pernah bekerja, mereka hanya mampu beberapa bulan saja. Setelah itu pergi dan tidak lagi kembali bekerja. Dia menyadari, merawat orang lansia dengan kondisi sakit dan tidak berdaya membutuhkan energi dan kesabaran ekstra. Jika tidak, seperti biasa, tidak betah dan pergi. “Kalau tidak berpengalaman merawat, tidak mampu. Di sini ada yang stroke, lumpuh, tunanetra, dan lainnya. Semua harus bisa diladeni. Kalau orang awam nggak ada yang kuat. Padahal sekarang kalau mau nyebokin pakai sarung tangan, masker. Cuma kalau orang awam kan tetap jijik,” ucapnya lagi. Lima tahun merawat para lansia, banyak hal yang dia dapatkan. Termasuk pengalaman yang cukup menyayat hati. Salah satunya terjadi sekitar empat tahun lalu. Saat itu seorang laki-laki datang dan berniat menitipkan salah seorang anggota keluarganya yang sudah berusia 80 tahun lebih. Ia dari Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Laki-laki itu meminta tolong agar perempuan yang tidak memliki anak itu dirawat di panti jompo. Merasa kasihan, Hj Anah mempersilakan orang tersebut membawa si nenek ke panti jomponya. Selang beberapa hari, lelaki itu datang dan membawa sang nenek. Ketika dimasukkan ke salah satu ruangan, tanpa diduga, kondisi tubuh perempuan yang terbungkus tikar itu dalam kondisi sangat mengenaskan. “Begitu tikar dibuka, ya Allah di situ ada kotoran tikus, ada bulu tikus. Dari tangan dan punggungnya keluar belatung. Saya kasihan sekali. Itu kan manusia, dalam hati saya bilang tega banget ya. Tetapi memang karena tidak punya anak. Mungkin itu risiko kalau tidak punya anak. Akhirnya saya bersihkan badannya,” tutur Hj Anah, serius. “Saya bilang ke yang bawa, lihat Mas kayak gini. Kenapa tega ke orang tua. Dia diam terus nangis,” imbuhnya lagi. Selang tiga bulan, pasien itu akhirnya menghembuskan napas terakhir. Pasien yang sejak datang dalam keadaan tidak sadarkan diri itu menyerah dengan kondisi tubuhnya yang sudah terlalu parah. Bahkan saat dirawat, si nenek itu hanya bisa merintih. Tak berdaya. “Sampai menantu saya bilang, ibu kenapa mau-maunya kayak begini. Saya nggak peduli orang mau ngomong apa. Saya begitu orangnya,” tegasnya. Pengalaman lainnya, beberapa tahun lalu, ia menerima pasien yang dititipkan tanpa izin. Tidak diketahui kedatangannya. Sang pengantar langsung pergi. Lansia tersebut diketahui memiliki 3 orang anak. Namun ketiga-tiganya tak ada yang mau mengurus sang ibu. Perempuan berusia sekitar 80 tahun itu datang dengan mengidap penyakit diabetes. Mengetahui kondisi pasiennya dalam keadaan kritis, Hj Anah menghubungi anggota keluarganya. “Saya cari orangnya, saya telepon. Saya bilang ibu kamu tinggal menunggu kamu saja. Kamu datanglah. Kamu keluar dari belahan batu apa sih. Saya bilang sampai emosi,” terang Hj Anah menirukan pembicaraannya kala itu. Dia sebenarnya memahami bahwa mungkin ketiga anaknya dalam keadaan sulit, sehingga tidak memiliki biaya untuk pulang ke Cirebon. Mereka diketahui tengah berada di luar kota bersama keluarga masing-masing. Beberapa hari menunggu, akhirnya sang anak datang dan menemui ibunya. “Di situ mereka berpelukan dan saya ikut meluk juga. Setelah itu, ibu itu langsung meninggal dunia. Jadi benar kata saya, dia cuma ingin bertemu anaknya saja sebelum pergi untuk selama-lamanya,” kenangnya. Terakhir, dia juga sempat mengurus seorang ibu yang telantar. Sebenarnya ia tak sendiri. Ibu itu memiliki seorang anak, tapi sang anak yang tak bertanggung jawab meninggalkan ibunya begitu saja. Memilih menaruh ibunya ke panti jompo milik Hj Anah. Tidak berbeda dengan nasib lansia sebelumnya, si ibu itu pun tidak pernah dijenguk anaknya. Bahkan saat terbaring sakit dan dirawat di rumah sakit. “Akhirnya saya menghubungi saudaranya. Saya minta tolong, saya bilang tolong urusin karena di panti tidak ada orang. Setelah itu, pulang dari rumah sakit, ibu itu menangis, saya peluk. Dia bilang saya ingat ayah ibu, saya besok pisah sama ayah ibu. Maksudnya ayah ibu itu saya dan suami saya,” ujar Hj Anah. Akhirnya sang nenek tersebut dibawa pulang pihak keluarga. Bahkan mereka sempat menanyakan riwayat sakit warga Kota Cirebon itu. Hj Anah menjelaskan bahwa si nenek tidak mengidap penyakit, hanya faktor usia saja. Terkejut bukan kepalang. Setelah dibawa pulang, Emak- panggilan si nenek- justru ditelantarkan dan hanya ditempatkan di masjid. “Anak saya bilang kalau masih hidup dibawa ke sini aja, kasihan. Tapi ternyata sudah meninggal,” lanjutnya. Pekerjaan yang bisa dibilang sangat berat, dianggap Hj Anah biasa-biasa saja. Dia enjoy dengan aktivitasnya. Bahkan bersyukur karena memiliki banyak teman di rumahnya. Dengan tanggung jawab itu, dia juga tidak merasa terbebani. Justru sangat senang. “Seperti teman sendiri. Saya kadang bercanda dengan mereka. Kalau sedang tak mau makan, saya bilang, nanti saya panggilin ambulans. Dirawat di rumah sakit mau? Akhirnya mau makan. Kalau mau mandi juga sama, bilangnya dingin. Saya bilang, kalau nggak mau mandi nanti saya panggil ambulans. Diinfus, mau?,” cerita Hj Anah, lalu tertawa kecil. Dia bersyukur di usianya yang sudah tidak muda lagi, masih sempat berbuat untuk masyarakat. Bahkan, untuk sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Setiap bulan, ia pun merelakan merogoh uang pribadi dan keluarganya  untuk membiayai kebutuhan pasien. Minimal Rp5 juta setiap bulannya. Termasuk untuk biaya listrik sebesar Rp2 juta. Maklum di sini, setiap pasien diperlakukan dengan hati-hati dan istimewa. Setiap kamar tersedia kipas angin yang menyala 24 jam. “Kasian, mereka juga manusia. Sama seperti kita, tidak mau panas. Bahkan kalau nanti mampu, saya pengen belikan AC, satu kamar satu,” ucapnya. Selain mengandalkan gaji suami dan anak, ia juga memiliki rumah kos 4 kamar yang menjadi sumber biaya menghidupi panti jompo. Sumbangan donatur memang ada, namun hanya sesekali dan bersifat insidentil. Dia tak pernah berniat berhenti, meski diakui banyak keterbatasan. “Kalau pemerintah, sampai detik ini belum pernah sama sekali membantu. Tetapi saya tidak pernah mengeluh. Karena dari awal, prinsipnya, saya berani berbuat (untuk masyarakat) harus berani tanggung jawab,” tandasnya. Selain panti jompo, Hj Anah juga membina 40 orang lansia di Kota/Kabupaten Cirebon melalui program home care. Setiap bulan, dia dibantu beberapa orang kader posyandu mengunjungi para lansia yang mayoritas tinggal di wilayah pesisir. Panti jompo adalah bukti baktinya. Nama Hasanah sendiri merupakan nama neneknya, yang ia anggap sebagai sumber inspirasi. Hj Anah yang sempat tinggal bersama nenek saat masa kanak-kanak, merasa mendapatkan spirit kemanusiaan dari nasehat-nasehat yang disampaikan. Antara lain, jangan sombong, berendah hatilah. Sayangi sesama. Jangan berebut warisan, karena tidak memberikan kemaslahatan dunia akhirat. \"Dan orang itu harus bisa bekerja kasar, apa saja. Tetapi kalau mau kerja halus (ringan) harus pakai otak (berilmu),” pungkasnya. Sungguh mulai peran Hj Anah. Beruntung kita memilikinya. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: