Lalu Lintas Kota Diatur Pak Ogah, Setiap Tikungan Ada

Lalu Lintas Kota Diatur Pak Ogah, Setiap Tikungan Ada

CIREBON-Meningkatnya volume kendaraan. Mobilitas masyarakat. Menghadirkan tantangan tersendiri dalam pengaturan lalu lintas. Yang jadi masalah, ketika pengaturnya bukan aparat berwenang. Pak ogah, hadir di mana-mana. Begitu setia. Di setiap tikungan ada. Priiit. Ajat mengatur kendaraan memutar di u-turn Jl Cipto Mangunkusumo. Terik matahari seolah ia abaikan. Padahal keringat sudah membasahi keningnya. Pria 44 tahun itu, lebih peduli kepada kendaraan yang berputar arah. Sembari berharap pengemudi yang dibantunya memberi imbalan. Di sanalah, dia setiap hari bekerja. Dibantu beberapa rekannya. Dengan sistem shift. Orang menyebutnya pak ogah. \"Kadang ada yang bayar. Kadang ya cuma lewat aja. Itu sih risiko. Kami kerja sosial,\" ucap Ajat. Ia yakin, tanpa kehadiran pak ogah, lalu lintas lebih semerawut. Yang lurus tak mau mengalah. Yang mau putar arah juga maunya cepat. Seringkali adu klakson gara-gara kepingin duluan lewat. Hal macam ini sudah jadi pemandangan sehari-hari jalanan kota yang kian padat. Jalan Cipto Mk sejauh ini menjadi ruas jalan yang paling banyak ditempati pak ogah. Ada tiga u-turn di sana. Satu titik, ada enam pak ogah. Bekerja per shift. Terutama siang dan malam. Mereka bertugas bergiliran. Sekitar 15-30 menit sekali. “Ini kan lagi panas-panasnya. Makanya gantian,” kata Ajat. Dalam sehari, penghasilan mereka tak tentu. Bila dikalkulasi, rata-rata bisa membawa pulang Rp50-60 ribu/ orang. Pembagiannya berbeda-beda. Sebab, pak ogah ini punya grup sendiri-sendiri. Pak ogah, tadinya tidak beroperasi di Jl Cipto Mk. Dua atau tiga tahun belakangan mulai marak. Begitu juga di ruas jalan lainnya. Mereka merespons jalanan yang kian runyam. Banyak persinggungan kendaraan. Dalam pemahaman Ajat dan rekan-rekannya, pengatur lalu lintas dadakan justru membantu kepolisian. Juga dinas perhubungan. “Kita memang bukan petugas. Ini murni sosial. Selama ini polisi juga nggak ada masalah. Asal ngaturnya bener. Supaya nggak tambah macet,” katanya. Untuk urusan ilmu lalu lintas, mereka memang tidak dibekali pemahaman maupun keterampilan khusus. Praktik di lapangan tebak-tebakan. Pakai feeling saja. Agus misalnya. Dia membatasi tiap 15 mobil dulu untuk fase lurus. Diseling dengan beberapa mobil yang putar arah. Tujuannya supaya antrean tidak begitu panjang. \"Kasih jalan 15 mobil dulu. Habis itu stop dulu, kasih kesempatan yang mau muter,” katanya. Ia tak terima disebut biang macet. Apalagi kalau tudingan kemacetan disebabkan oleh pak ogah yang tak becus mengatur lalu lintas. Agus yakin, kehadiran dirinya dan sejumlah rekannya justru membantu kelancaran lalu lintas. \"Ada yang parkir. Ada yang beli sate. Ada yang mau muter. Gimana nggak macet coba? Terus pak ogah yang disalahin?” selorohgnya. Dari tiga titik ­u-turn Jl Cipto Mk, salah satunya sudah dipasangi alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL). Yang membantu pengendara untuk memutar arah. Juga menghindari persinggungan kendaraan. Tak pelak, kehadiran perangkat ini juga mempengaruhi penghasilan pak ogah. Boy  salah satunya. Padahal di u-turn tersebut, ada sekitar 28 orang yang mengais rezeki. Mereka dibagi dalam dua grup. Pagi, mulai dari pukul 07.00-11.00. Kemudian 11.00-17.00 dan terakhir 17.00-20.00. “Jujur saja, dikasih lampu merah penghasilan kita berkurang,” katanya. Meski begitu, keberadaan perangkat itu tak serta merta membunuh pekerjaan mereka. Saat puncak kepadatan, kendaraan tetap saja perlu dipandu. Apalagi yang melanggar rambu ini tak sedikit jumlahnya. (jml/myg/gus/day-magang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: