Mengenal Warkinah, Sosok Pelopor Gerakan Sadar Baca “Ayo Pado Maco”

Mengenal Warkinah, Sosok Pelopor Gerakan Sadar Baca “Ayo Pado Maco”

CIREBON-Ia mendirikan warung. Bukan warung biasa. Warung baca. Bukan untuk jual buku, tapi memberikan ruang baca bagi masyarakat. Khususnya anak-anak. Itulah Warkinah, Pelopor Gerakan Sadar Baca “Ayo Pado Maco”. Baginya tidak ada yang lebih berharga dari pendidikan bagi generasi muda. Jelang  petang, Warkinah tampak begitu lelah. Maklum, ia baru saja meladeni tim verifikator dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sejak pagi, dan baru rampung sore sekitar pukul 17.00 WIB. Nama Warkinah masuk dalam 13 besar sosok calon penerima Anugerah Insan Peduli PAUD dan Pendidikan Masayarakat Tahun 2018. Ajang tingkat nasional yang baru pertama kali digelar Kemendikbud. “Kalau datangnya malam ya agak santai. Saya baru saja selesai dikunjungi orang kementerian (Kemendikbud, red),” ujarnya kepada Radar Cirebon, pekan lalu. Saat Radar Cirebon mengunjungi warung baca miliknya di Jl Raya Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Warkinah tengah merapihkan berbagai berkas yang diperlukan untuk verifikasi lapangan.  Saat itu, warung baca tampak begitu berantakan. Di bagian lain, beberapa anak usia sekolah dasar juga tampak asyik membaca buku-buku yang tersedia di warung baca. Namanya anak-anak, kadang cukup merepotkan. “Ya begini ini setiap hari. Kadang susah ya,” imbuhnya, lalu tersenyum. Kiprah Warkinah dalam menggelorakan semangat membaca memang tidak main-main. Sebelum tenar seperti saat ini, ia telah banyak menelan pil pahit berupa caci dan maki dari tetangga dan warga sekitar yang tidak memahami kerja mulianya. Warkinah bahkan rela memberikan apapun. Agar apa yang menjadi harapannya, yakni membuka ruang cakrawala pengetahun bagi masyarakat, dapat terwujud. Warkinah bercerita, awalnya tidak ada niat untuk membangun Pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM) Balai Wiyata. Kondisi masyarakatlah yang membuatnya gelisah. Ia merasa tidak tahan dan hanya diam dengan kondisi sosial saat itu. “Jadi, dulu waktu saya masih sekolah, saya merasa pendidikan hanya sebatas fisik, belum sentuh ke kepribadian. Sekolah memang sekolah, tetapi kadang masih sering tawuran,” tuturnya. Kesadaran membaca pun sangat rendah. Itu terlihat dari kebiasaan siswa saat ia bersekolah hingga menjadi guru. “Saat ujian saja, anak-anak tidak mau membaca. Istirahat ya diam saja. Apalagi pas hari-hari biasa. Saya prihatin,” ucap lulusan STKIP Yasika Majalengka itu. Dari kenyataan pahit masa remaja itulah, ia lantas berinisiatif memberikan pencerahan bagi masyarakat. Medianya, melalui taman baca. Saat itu, tepatnya sekitar tahun 2009, ia mulai mengumpulkan kembali koleksi buku yang sempat ia beli. Jumlahnya tidak banyak. Hanya sekitar 25 buku. Buku-buku itu tercecer dan berantakan di rumahnya di Desa Surakarta, Kecamatan Suranenggala. “Sebelum kita membuat perpustakaan umum, kita bikin perpustakaan kecil-kecilan dulu dengan modal 25 buku. Kebetulan saya suka koleksi buku,” terang pria kelahiran 4 September 1978 tersebut. Dari modal buku yang tak banyak, ia lantas menghubungi teman, kerabat, dan keluarga. Satu per satu mereka memberikan buku. Dalam benaknya, bagaimana pun caranya agar koleksi buku bisa bertambah. Lebih banyak. Dan semakin menarik minat baca masyarakat. Meski begitu, awalnya ia sempat ragu, kala berniat mendirikan perpustakaan. Barulah pada tahun-tahun berikutnya, ia mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Menjadi guru sejak 1999, ia menjadi tempat curhat bagi warga. Mengenai berbagai persoalan pendidikan. Mulai dari informasi seputar dunia pendidikan, persoalan di sekolah, hingga pengaduan soal biaya pendidikan. “Dari situ mulai bergerak. Anak-anak dikumpulkan, belajar, mengerjakan PR, kemudian menyelesaikan masalah pendidikan. Bahkan saya sempat membentuk konsultasi pendidikan saat itu,” kenang alumnus SDN 1 Suranenggala itu. Tahun 2010 ia kemudian mulai menyiapkan sarana yang diperlukan perpustakaan. Mulai membuat rak-rak di rumah. Singkatnya, terbentuklah Balai Wiyata, dengan istilah tempat pembelajaran. Saat itu PKBM Balai Wiyata yang ia bangun belum memiliki tempat menetap. Masih berpindah-pindah. Di masa-masa awal itulah, tekad Warkinah diuji. Warga sekitar banyak yang meragukan niat baik bapak dua anak tersebut. Bahkan ada yang mengatakan, upaya Warkinah hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi keuntungan pribadi. Ia juga dianggap pencitraan agar mendapat simpati masyarakat. “Banyak yang bilang saya cari keuntungan lewat proposal, tapi nggak dikerjakan. Ya saya terima omongan. Tapi saya tetap lanjutkan dan buktikan. Dan inilah hasilnya,” tutur suami dari Paniah tersebut. Bahkan, saat masa awal-awal itu ia berkeinginan menyediakan kendaraan untuk membuat perpustakaan keliling. Ia berniat membeli mobil, namun terkendala dana. Ia pun berusaha merayu sang istri untuk menggadaikan perhiasannya. “Awalnya ditanya untuk apa, saya jawab untuk kegiatan masyarakat. Satu dua kali menolak. Akhirnya saya beri pemahaman dan istri saya mengerti. Tapi waktu itu saya diberi syarat. Dalam waktu sekian bulan harus kembali, saya bilang siap,” tukas anak ke 5 dari 6 bersaudara pasangan Kuni dan (alm) Kurdi tersebut. Ia pun kemudian membeli kendaraan sederhana senilai Rp12 juta dari seorang teman. Pembayaran awal Rp6 juta untuk DP. Selanjutnya dicicil selama 2 tahun. “Karena kepada teman sendiri akhirnya berapapun saya ada rejeki saya kasih. Alhamdulillah akhirnya lunas,” katanya senang. Mobil itulah yang selama ini ia gunakan untuk berkeliling dari rumah ke rumah, dari desa ke desa, dan dari pasar ke pasar. Ya, dari pasar malam ke pasar malam. Warkinah, selain membuka rumah baca, juga membuka perpustakaan keliling. Di berbagai tempat. Khususnya tempat kerumunan massa. Tidak heran, selama ini ia juga membuka lapak di pasar malam untuk menyediakan bacaan gratis bagi pengunjung pasar malam. “Kemarin ini saya dua minggu penuh di pasar malam Karangkendal, mulai magrib sampai jam 10 malam. Saya bahagia sekali ketika melihat warga membaca buku” jelas guru honorer SMPN 2 Suranenggala tersebut. Ia juga menunjukkan beberapa foto di ponselnya saat beberapa pengunjung lapak perpustakaan keliling asyik melahap buku. Setelah 9 tahun merintis taman bacaan masyarajat, kini, ia sedikit lega. Warung perpustakaan yang ia bangun telah memiliki tempat yang menetap. Meski hanya sementara. Sebab, di tempatnya saat ini, ia hanya diberikan izin untuk menggunakan kios yang tidak terpakai milik koperasi. Kios itu digunakan sejak 2014 lalu. “Ya lebih baiklah daripada di rumah, kan sempit,” ucap alumnus SMPN 1 Panguragan itu. Perpustakaan itu buka setiap hari, sehabis pulang mengajar, sekitar pukul 14.00 WIB. Dengan sabar, ia meladeni berbagai keinginan para pengunjung yang rata-rata anak usia SD. Sembilan tahun berdiri, koleksi buku warung baca sudah mencapai 850 judul buku. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat. “Makanya sampai sekarang kita terus mencari donasi buku. Buku apa saja. Utamanya untuk anak-anak. Dari siapapun kita terima dengan senang hati,” katanya lagi. Tak puas dengan mendirikan warung baca, ia juga menyediakan layanan pendidikan bagi para orang tua. Namanya sekolah keberaksaraan. Setiap hari Minggu, sehabis Salat Asar, Warkinah mengajari para orang tua membaca dan menulis. Semua ia lakukan di rumah sang mertua.Terakhir, pada 2014,  ia juga mendirikan dua lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Balai Wiyata dan Balai Ceria. Dua-duanya gratis. Untuk masyarakat. PAUD Balai Wiyata berada di Desa Surakarta, sedangkan PAUD Balai Ceria berada di Desa Suranenggala. Kedua PAUD tersebut sama-sama belum memiliki gedung tetap. PAUD Balai Wiyata menggunakan rumah kontrak milik warga, sedangkan PAUD Balai Ceria memanfaatkan gedung milik Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) setempat. “Saya ingin membuktikan bahwa dengan pendidikan kita bisa memberdayakan manusia yang seutuhnya dan jangka panjang.  Saya sendiri tidak punya wewenang dan jabatan. Cuma saya punya harapan-harapan seperti itu,” tegas alumnus SMKN 1 Susukan itu. Kini, di antara keterbatasan-keterbatasan tersebut, ia tetap teguh menjalankan ikhtiar yang ia rintis untuk menjadi bagian bakti kepada negeri. Penghargaan demi penghargaan juga ia raih. Dari mulai tingkat daerah hingga nasional. Terakhir, Warkinah kini tengah menanti hasil penjurian dalam ajang Insan Peduli PAUD dan Pendidikan Masyarakat yang digelar Kemendikbud RI. “Ya semoga memberikan hasil yang baik dan menjadi motivasi untuk terus berkarya demi bangsa,” pungkasnya. (day)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: