Buruh Kabupaten Cirebon Tolak Angka Kenaikan UMK

Buruh Kabupaten Cirebon Tolak Angka Kenaikan UMK

CIREBON-Puluhan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) meluruk kantor Disnakertrans Kabupaten Cirebon dan Kantor Bupati, Kamis (15/11). Buruh menolak kenaikan UMK sebesar 8,03 persen yang tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Cirebon. Buruh menilai, PP 78 sangat memiskinkan para buruh. Sekjen FSPMI Cirebon Raya M Machbub SKom kepada Radar mengatakan, aksi yang dilakukannya dalam rangka tindak lanjut dalam pleno penetapan UMK 2019. Dia menilai, kenaikan UMK yang mengacu kepada PP 78 ini, angka kenaikannya jauh dari kelayakan. Dan, kesepakatan jumlah kenaikan itu tanpa melibatkan perwakilan perwakilan buruh. “Kita tolak PP 78. Karena kenaikan UMK bukan berdasarkan hasil perundingan, namun hasil dari presiden lalu kementerian. Sehingga, fungsi dewan pengupahan itu tidak ada. Dan hasilnya sudah ada dari presiden,” ujarnya. Pihaknya meminta pertanggungjawaban presiden karena mengeluarkan PP 78 yang sama sekali tidak berpihak kepada para buruh. “Kita minta Presiden hapus PP 78. Karena presiden juga berani mengeluarkan PP 78 yang sudah jelas-jelas merugikan kami para buruh,” tegasnya. PP 78 ini juga menurut Machbub, akan semakin membuat para buruh menjadi miskin. Kenaikan UMK sebesar 8,03 persen, tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Cirebon. “Kita menginginkan kenaikan UMK 2019 itu berdasarkan KHL. Kemarin kita sudah melakukan survei independen di tiga pasar. Pasar Arjawinangun, Pasar Plered, dan Pasar Palimanan. Di sana kita mendapatkan angka survei KHL sebesar Rp3.100.000. Nah, kami lihat dengan kenaikan UMK 2019 sebesar Rp150 ribu atau total Rp2.024.000, tidak sebanding dengan KHL yang terjadi,” tuturnya. Menurut Machbub, kenaikan menjadi Rp2.024.000 hanya cukup untuk makan, transportasi dan listrik saja. Itupun menghitung makan satu kali, tiga kali sehari kita sudah hitung dalam satu bulan itu di angka Rp1,3 juta, belum transport. Belum listrik itu pas di angka Rp2 juta. Artinya, kita kembalikan lagi kepada Permenaker nomor 13 tahun 2012 bahwa untuk menentukan UMK ke depan itu harus menggunakan KHL,” ungkapnya. Pihaknya menginginkan agar kenaikan UMK 2019 berkisar antara 25 hingga 30 persen, agar sesuai dengan KHL. “Nah kita menolak kenaikan 8,03 persen. Kita minta naik berdasarkan survei KHL atau naik sebesar 25 sampai 30 persen,” ujarnya. Pihaknya juga menuntut agar Pemkab Cirebon segera menerapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) Kabupaten Cirebon, karena sudah dua tahun belum lagi ada pembahasan. “Berikutnya tentang UMS. Nah, ini sudah menjadi PR buat kita semua. PR dari pemerintah karena sempat terhenti selama dua tahun ke belakang sampai hari ini tidak ada kajian-kajian. Kita meminta kepada pemerintah agar secepatnya melakukan kajian-kajian agar UMSK 2019 bisa langsung diberlakukan,” tuturnya. Menanggapi tuntutan aksi demo, Kasi Hubungan Industrial Disnakertrans Kabupaten Cirebon, Dadan Subandi mengatakan, apa yang menjadi kewenangan daerah akan coba fasilitasi, termasuk kaitannya dengan Upah Minimum Sektoral Kerja (UMSK) di Cirebon. Di sini Dinas Tenaga Kerja selaku sekretariat dewan pengupahan akan mencoba mengkaji kaitan dengan Upah Minimun Sektoral (UMS). Untuk di tahun 2019 nanti, karena untuk Upah Minimum Sektoral, dibatasi sampai bulan Februari tahun 2019. Jadi, Upah Sektoral ini dapat ditetapkan setelah keluarnya Upah Minimum Kabupaten yang rencananya akan ditetapkan pada tanggal 21 November tahun ini. Ke depan, dari dewan pengupahan sendiri akan mengkaji apa saja yang nantinya akan menjadi parameter ditetapkanya Upah Minimum Sektoral Kerja ini. Untuk UMK Kabupaten Cirebon sendiri ada kenaikan sebesar 25 persen-30 persen atau setara dengan KHL yang mereka lakukan secara independen. Pihaknya mengakui saat ini, dengan melalui kepala daerah Kabupaten Cirebon telah melakukan rekomendasi kepada Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat untuk ditetapkan besaran upah minimum di Cirebon oleh Gubernur jawa Barat. Disinggung terkait tidak dilibatkannya suara buruh pada berita acara (Rapat Pleno), Dadan menampik hal itu bahwa dalam rapat itu dihadiri semua pihak terkait, termasuk perwakilan buruh. “Bukan tidak tertampung. Karena kesepakatannya di sini kan besaran upah. Jadi, bukan usulan upah. Dalam hal ini para buruh sendiri belum mengajukan besaran”, terangnya. Lebih lanjut, dirinya mengakui untuk menandatangani kesepakatan tersebut, baru dilakukan oleh pihak pemerintah dan para pengusaha saja. Sedangakan dari pihak buruh sendiri belum mendatangani. (den/fid)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: