Benarkah Israel-Indonesia Berhubungan Gelap?
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan perubahan kebijakan luar negeri-nya selama pidato di Sydney, dan mengatakan bahwa itu adalah posisi yang “seimbang” dan “terukur”. “Australia sekarang mengakui Yerusalem Barat—yang menjadi pusat Knesset (parlemen Israel) dan banyak lembaga pemerintahan—sebagai ibu kota Israel,” kata Morrison. “Selanjutnya, dengan mengakui komitmen kami terhadap solusi dua negara, Pemerintah Australia juga telah memutuskan untuk mengakui aspirasi rakyat Palestina untuk sebuah negara masa depan dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur.” Bagaimana dengan Indonesia? Sejak awal kemerdekaan, Indonesia memang bersikap dingin terhadap ajakan Israel buat membuka hubungan diplomatik. Pada 1949, setahun setelah negara Israel berdiri, Tel Aviv melakukan komunikasi dengan Jakarta. Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion (masing-masing presiden dan kepala eksekutif Organisasi Zionis Dunia) mengirim telegram rahasia kepada Sukarno. Isinya: “Selamat atas kemerdekaan Indonesia”. Surat itu tak berbalas. Setahun setelahnya, Januari 1950, Israel melalui Menteri Luar Negeri Moshe Sharett mengirim telegram kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta berisi pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia. Hatta menanggapi dingin telegram itu. Hatta mengucapkan terima kasih tapi tanpa memberi pengakuan atas pendirian negara Israel. Meski demikian, upaya Israel menjalin komunikasi dengan Indonesia terus dilakukan. Sebaliknya, pada 1952, Presiden Sukarno mengambil langkah kebijakan anti-Israel. Penyebabnya, Israel dianggap melakukan penjajahan terhadap Palestina. Bersikap menjalankan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (“.. kemerdekaan adalah hak segala bangsa...”), pada akhir 1953, pemerintah melarang pemberian visa bagi warga Indonesia buat berpergian ke Israel. Sikap ini tak lepas dari politik luar negeri Indonesia yang menghendaki kolonialisme sirna dari muka bumi. Sukarno sendiri pernah berucap: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Perubahan sikap pemerintah Indonesia mulai berkembang sejak era Soeharto. Pembantaian massal terhadap ratusan ribu anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, 1965-1967, dengan Soeharto memimpin Indonesia selama tiga dekade, yang dibekingi oleh Amerika Serikat, berimbas pada hubungan Indonesia-Israel. Di bawah Soeharto, politik anti-Barat era Sukarno ditinggalkan; ia membuka modal asing buat menanam dan mendirikan maskapai-maskapai internasional. Saat mayoritas negara muslim di dunia mengecam Perang Enam Hari, atau dikenal pula Perang Arab-Israel 1967antara Israel dengan Mesir, Suriah, dan Yordania, sikap pemerintah Indonesia justru melunak dan berkembang lebih moderat dalam dalam menangani konflik Israel-Palestina. Hubungan dengan Israel ini memang cair ketika Orde Baru berkuasa. Ia dimulai sekitar 1970 melalui jasa taipan Israel bernama Saul Eisenberg, yang juga berhasil mengamankan jalur perdagangan antara Israel dan negeri komunis Cina. Bukti nyata hubungan Israel dengan Indonesia adalah pembelian pesawat tempur Skyhawk pada 1979—kelak menjadi skadron udara milik TNI Angkatan Udara. Jim Winchester dalam Douglas A-4 Skyhawk: Attack and Close Support Fighter Bomber (2004) menjabarkan operasi rahasia pembelian Skyhawk. Operasi ini dipimpin oleh Benny Moerdani meski misi rahasia ini tak pernah diakuinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: