Haul Gus Dur: Menjaga Indonesia Tetap Waras, Gunakan Produk Gus Dur

Haul Gus Dur: Menjaga Indonesia Tetap Waras, Gunakan Produk Gus Dur

Orang-orang  rela berkumpul dalam sesak demi memperingati acara Haul Gus Dur yang sudah diselenggarakan sembilan kali. Haul pada Jumat (21/12/2018) ini mengambil tema \"Yang Lebih dari Politik Adalah Kemanusiaan\". Tema ini sengaja dipilih untuk menyebarkan pesan-pesan humanis dan manusiawi kepada Pemerintah, negara, politisi, dan seluruh masyarakat. Beberapa tokoh publik yang ada di dalam poster Haul Gus Dur kali ini awalnya KH. Maemun Zubair, Habib Abu Bakar Al-Attas, Mahfud MD, Ebiet G. Ade, KH. Dzawawi Imron, Tuty Herawati, dan Aristides Katoppo—namun belakangan yang hadir lebih banyak dari itu. Sepanjang hidupnya Gus Dur dikenal sebagai kyai, esais, kritikus, politikus, aktivis gerakan sosial, dan pembela HAM. Konsistensinya membela kelompok minoritas membuat Gus Dur mendapat julukan \"bapak-nya orang-orang Tionghoa dan Papua\". \"Agar menjaga Indonesia tetap waras, orang Indonesia harus menggunakan produk Gus Dur!\" Guyonan itu selalu melekat di malam haul Gus Dur. \"Produk\" yang dimaksud adalah nilai-nilai, pemikiran dan tindakan Gus Dur yang dikenal bernas dan bermanfaat untuk Indonesia. Satu hal yang paling menonjol dari Gus Dur adalah kemampuannya menertawakan diri sendiri lewat lelucon. Beberapa pekan setelah menjadi presiden pada 1999, Gus Dur berpidato di depan para tamu negara asing. Peristiwanya terjadi di Denpasar, Bali. Ia berpidato dalam bahasa Inggris tanpa teks. Di awal pidato, dia berkata begini: “Saya dan Megawati adalah pasangan presiden dan wakil presiden yang lengkap: saya tidak bisa melihat, dia tidak bisa ngomong.” Semua tamu tentu saja ger-geran tanpa kecuali. Gus Dur bersikap biasa saja melihat orang tertawa bahak-bahak. Wajahnya lempang saja. Waktu itu banyak omongan soal wakil presiden yang irit bicara. Megawati Soekarnoputri jarang sekali memberi komentar soal apapun. Gus Dur, sementara itu, hampir saban hari mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang sering bikin panas berita-berita di surat kabar. Diamnya Megawati memang membuat orang bertanya-tanya, terutama menyangkut kapasitas pribadinya sebagai seorang wakil presiden dan ketidakcocokannya dengan sang presiden. Gus Dur tahu betul tentang itu dan ia mencoba menetralisir situasi dengan kemampuannya yang menyenangkan: lelucon dan menertawakan diri sendiri. Pada kesempatan lain, ketika desakan pengunduran diri kepada Gus Dur makin kencang di mana-mana, Emha Ainun Nadjib, mampir ke istana. Berdasarkan cerita yang pernah dituturkan Emha, ia mendatangi Gus Dur sebagai seorang sahabat yang bermaksud mengingatkan. “Gus, sudahlah, mundur saja. Mundur tidak akan mengurangi kemuliaan sampeyan,” kira-kira begitu kata Emha kepada Gus Dur. Jawaban Gus Dur: “Aku ini maju aja susah, harus dituntun, apalagi suruh mundur.” Dua orang itu ngakak. Waktu itu memang posisi Gus Dur berada di ujung tanduk. Lawan politiknya terus menyerang dengan isu Buloggate lewat DPR dan MPR. Suasana memanas akibat pendukung Gus Dur dan penentangnya tiap hari melakukan demonstrasi dan unjuk kekuatan di depan istana. Gus Dur sempat mengeluarkan senjata pamungkas berupa Dekrit Presiden yang salah satu poinnya adalah membekukan DPR dan MPR. Tapi langkah-langkah politik Gus Dur sudah begitu lunglai. Segala jurus yang dikeluarkannya percuma saja karena dukungan politik kian surut. Akhirnya, Gus Dur benar-benar mundur. Ada peristiwa yang kemudian jadi ikonik ketika di malam sebelum ia mundur, Gus Dur melambaikan tangan kepada para pendukungnya yang berkumpul di depan istana. Busana yang dipakainya: baju tidur, celana pendek, dan sandal jepit. Malam itu, ia menjadi presiden pertama Indonesia yang menampakkan diri kepada publik dengan celana pendek di Istana Negara. Setelah turun dari jabatan presiden, Gus Dur tetap sibuk dan tetap lucu. Ia masih melakukan safari ke daerah-daerah. Biasanya untuk berkunjung ke teman-temannya atau mengisi pengajian sampai kampung-kampung yang jauh. Pada suatu ceramah di sebuah kampung, Gus Dur mengajak semua yang hadir di situ bersalawat bareng-bareng. Para hadirin senang sekali melafalkan salawat dipimpin seorang kiai besar. Di akhir ceramah, Gus Dur nyeletuk. “Saya minta Anda semua bersalawat agar tahu berapa banyak jumlah yang hadir. Saya, kan, gak bisa melihat.” Satu lapangan terpingkal-pingkal. Salah satu humor Gus Dur yang paling dikenal adalah leluconnya soal kedekatan Tuhan dengan umat beragama. Ini juga mengandung unsur penertawaan diri terhadap sesuatu yang dianggap sakral tapi sering dipahami secara kaku: agama. “Orang Hindu merasa paling dekat dengan Tuhan karena mereka memanggilnya ‘Om’. Orang Kristen apalagi, mereka memanggil Tuhannya dengan sebutan ‘Bapak’. Orang Islam? Boro-boro dekat, manggil Tuhannya aja pakai Toa.” Gus Dur memang sangat lihai memainkan lelucon penertawaan diri sendiri sekaligus mencairkan ketegangan politik lewat humor. Dengan begitu, politik tak lagi muram dan hubungan sosial tidak kehilangan makna. Seperti ia tulis dalam Kata Pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia(1986): “Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.” Jika ia masih hidup, hari ini umurnya genap 77 tahun. Gus Dur mungkin cengar-cengir saja melihat politik Indonesia hari ini yang penuh makian tapi miskin imajinasi dan kekurangan lelucon. Barangkali ia cengar-cengar juga ketika melihat meme yang menghina salah satu putrinya, Alissa Qotrunnada Munawaroh, dengan sebutan “anak si buta”. Selamat ulang tahun, Gus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: