Selain PKL, Penindakan Perlu Menyasar ke Pembeli
CIREBON-Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terdampak penerapan Kawasan Bebas Transaksi PKL di enam ruas jalan kawasan tertib lalu lintas, perlu mendapat penangan khusus. Sejauh ini, pemerintah baru melakukan penertiban dengan operasi yustisi di tiga ruas jalan. Namun langkah penertiban belum dibarengi dengan penataan relokasi bagi PKL yang belum terakmodir. Pemerhati Pemerintah, Aef Syafrudin mengatakan permasalahan PKL harus dilihat dari berbagai sisi. Pertama tentu dari sisi peraturan. Pemerintah memang punya hak terkait dengan peraturan rencana tata ruang dan juga peraturan daerah mengenai penataan dan pemberdayaan PKL yang sudah ada di Kota Cirebon. Hanya saja memang kadang-kadang ini, kurang sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga banyak trotoar yang kemudian lebih awal digunakan pedagang untuk berjualan. \"Ini sosialisasinya harus terus. Termasuk kepada masyarakat,” ujarnya kepada Radar Cirebon. Penertiban di kawasan tertib lalu lintas butuh kerja ekstra dan komunikasi yang baik. Karena pedagang yang sudah di situ, mereka menempati bukan waktu yang pendek. Rata-rata pedagang sudah berjualan sampai bertahun-tahun. Sehingga mereka sudah sampai menemukan pangsa pasarnya, dan pelanggan. Dan juga kekhasannya. Akademisi yang juga Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Al Ishlah itu menambahkan, dalam membangun pasar itu terjadi antara penjual dan pembeli bertemu di satu titik dan mereka menyepakati titik itu. Sekalipun pemerintah mengarahkan ke satu titik relokasi untuk kebijakan transaksi, tapi ternyata tidak sesuai dengan harapan pedagang maupun pembeli. Karena kurang daya tarik dan lain sebagainya. Hal itu terbukti dengan hadirnya selter di Stadion Bima dan Jl Cipto Mk yang ditinggalkan pedagang. Lebih jauh, pemerintah pada prinsipnya tidak boleh membuat kebijakan yang bisa mematikan usaha sektor ril. Karena PKL ini merupakan sektor ril yang menyentuh langsung. Dan sudah sangat jelas, ketika goncangan ekonomi sektor ril ini yang mampu bertahan. Salah satunya PKL. Sekalipun pasar modern tumbuh pesat. Ternyata pasar tradisional dan juga pedagang kaki lima bisa bertahan hidup. \"Ini (PKL: red) luar biasa. Di sisi lain, pemerintah juga belum memiliki kebijakan buat pasar modern. PKL ini punya antibodi terhadap goncangan ekonomi,\" jelasnya. Maka dari itu, solusinya harus ada sebuah titik temu antara pedagang kaki lima dengan pengambil kebijakan. Ada titik tempat yang disepakati. \"Membangun pasar itu juga tidak mudah. Harus diakui, butuh waktu lama,\" tuturnya. Sebelumnya, permasalahan penataan PKL yang terkena dampak operasi yustisi di tiga ruas jalan belum menemukan solusi. Terutama untuk jangka panjang. Janji pemkot untuk membahas melalui tim koordinasi penataan dan pemberdayaan lintas SKPD, masih belum terwujud. Ketua Komisi II DPRD Kota Cirebon Agung Supirno SH menyayangkan hingga kini pemerintah belum memberikan solusi terutama bagi PKL yang tersisih dari kawasan KTL. Meski diakui pedagang dalam hal ini juga menyalahi aturan dalam perda. \"Saya akan coba komunikasikan lagi dengan Disdagkop UKM, ini juga kan timkor memang oleh Pak Sekda langsung,\" katanya. Dia sendiri berharap agar ada solusi bagi PKL. Dalam rapat pertemuan dengar pendapat antara Disdagkop UKM dan juga PKL. Komisi II saat ini sudah merekomendasikan agar Disdagkop UKM sebagai leading sector segara menginisiasi pertemuan tim koordinasi. Dari pantauan Radar Cirebon, pedagang di Jl Siliwangi berkurang jumlahnya. Hanya ada delapan yang berjualan. Lima diantaranya merupakan pedagang buah yang menggunakan mulut gang. Sisanya berjualan masuk ke pertokoan, ada juga yang menggunakan pelataran Pasar Kramat. Radar Cirebon pun bertemu salah satunya. Uyung namanya. Pedagang buah itupun bercerita. Berjualan di dalam gang jadi satu-satunya cara agar ia bisa berjualan tanpa harus terkena operasi yustisi. Kebetulan tempatnya tak jauh dari lokasi semula. Meski diakui penghasilannya ikut terpengaruh. \"Dulu bisa Rp1 juta/hari, sekarang dapat Rp100 ribu udah syukur,\" ujar Uyung. Dirinya sudah berjualan hampir lima tahun di Jalan Siliwangi. Teman-teman lainnya dari sesama pedagang buah, saat ini banyak yang memilih kukud atau tidak berjualan lagi. Ada juga yang pindah ke lokasi lain. Selain Uyung, di mulut gang tersebut ada Amdan dan Jay yang sudah berjualan 3 tahun dan 15 tahun. “Tinggal ya segini aja. Yang lain nggak tau ke mana,” ucapnya. Mereka juga tak paham. Kenapa berjualan di mulut gang pendapatannya berkurang drastis. Beda dengan saat menggunakan badan jalan. Padahal lokasinya toh tak jauh-jauh amat. Mengiyakan Uyung, Amdan menyebutkan, omzetnya jauh berkurang. Namun ia tidak punya opsi lain ketika harus masuk berjualan di dalam gang. Mengingat seringnya petugas patroli datang ke Jalan Siliwangi. \"Ya mau gimana lagi, kalau nggak jualan ya susah juga nantinya,” tukasnya. Seperti diketahui, jumlah PKL di Jl Siliwangi ini mencapai ratusan. Dari pendataan yang dilakukan Radar Cirebon, untuk PKL buah saja jumlahnya 61 pedagang. Kebanyakan berjualan di area bahu jalan dekat Pasar Kramat. Sementara untuk malam hari, jumlahnya mencapai 98 pedagang. Setelah pemberlakuan KTL, jumlahnya menyusut drastis. (jml/myg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: