Autodidak Belajar Membuat Gitar, Kini Banjir Pesanan

Autodidak Belajar Membuat Gitar, Kini Banjir Pesanan

Berawal dari 20 tahun lalu. Tertarik membuat gitar. Wartono (45) warga Desa Lobener Lor, Kecamatan Jatibarang, menekuni menjadi perajin gitar. Meski belajar autodidak, produk gitar hasil polesan tangannya, tak kalah dengan hasil pabrikan maupun perajin lainnya. Hasil karyanya, saat ini banjir pesanan. Anang Syahroni, Indramayu WARTONO menceritakan awal mula dirinya tertarik menekuni sebagai perajin gitar. Bermula dari 20 tahun yang lalu setelah dirinya lulus sekolah, ikut dalam berbagai pertunjukan panggung seni musik sebagai audio sound. Dari situlah jiwa seninnya muncul ingin membuat gitar. Berkat ketekunannya belajar secara autodidak, gitar dan bass berhasil dibuat buah karya tangannya.  Sepuluh tahun ke belakang, gitar dan bass buatannya laku laris di pasar lokal dan nasional. Terutama pembuatan gitar buntung yang menjadi spesialisnya, sering dipesan penggemar Raja Dangdut, Roma Irama. “Alhamdulillah sepuluh tahun ke belakang banyak yang pesan. Harganya paling murah untuk gitar Rp 1,5 juta, dan bass Rp 2 juta. Termasuk, sering buat pesanan gitar buntung, mayoritas para penggemar H Roma Irama,” ujarnya. Meskipun sudah banyak pesanan, Wartono mengaku belum dapat mengangkat karyawan. Karena tak ada orang yang tahan membuat gitar secara detail. Menurutnya, untuk membuat gitar ataupun bass yang asli buatan tangan, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Karena untuk menjaga kualitas dan kuantitas hasil produksinya. Hal itu membuat warga yang sebelumnya berminat menjadi perajin gitar, tak bertahan lama dan menyerah di tengah jalan. Sehingga kesulitan memperolah pegawai. Wartono mengaku, selain karyawan, saat ini membuat gitar tidak menemukan kesulitan lagi. Karena bahan baku sudah banyak tersedia di toko kayu. Untuk bodi gitar terbuat dari kayu mahoni. Kayu mahoni sudah menjadi standar bahan baku pabrik pembuatan gitar. Sedangkan untuk neck terbuat dari kayu impor Amerika yang didatangkan distributor di wilayah bandung. “Iya, sebenarnya pengin mengangkat karyawan. Tapi kendalanya tak ada yang tahan lama. Karena saya ingin sekali menjaga kualitas dan kuantitas gitar hasil produksi. Sebenarnya saya sendiri sering kewalahan untuk membuat pesanan gitar. Selama dua minggu paling mampu membuat gitar ataupun bass emapt unit saja,” tuturnya. Meskipun sudah memliki merek sendiri, yakni L-Benr, namun Wartono belum membuat hak paten. Hal itu karena keterbatasan modal untuk mengurus hak penen. Saat ini dirinya bergabung dalam BUMDes Lobener Lor. Diharapkan dapat mempermudah dalam mengurus hak paten, sehingga produk gitarnya bisa dikenal sampai ke luar negeri. “Dan menjadi solusi mencari karyawan, dengan menggelar pelatihan bagi pemuda membuat gitar, dinaungi BUMDes. Ketika sudah ada yang bisa membuat gitar, diangkat menjadi karyawan,” ujarnya. Merek L-Benr sendiri sudah tercetus sejak 2003. Namun secara resmi menjadi merek hasil produksi pada 2015. Nama L-Benr sendiri memiliki makna, L singkatan dari kata Low yang artinya harus rendah hati. Ditulis miring yang memiliki arti belum sempurna dan menerima kritikan dan masukan dari siapa pun. Sedangkan Ben merupakan nama panggilan (sapaan) Wartono. Sementara huruf R merupakan inisial temannya Wartono yang terus memberikan semangat dan masukan untuk terus berkreasi menghasilkan produk gitar yang berkualitas. “Saya ingin merek L-Benr ini bisa dihakpatenkan dan bisa merekrut karyawan. Sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar, terutama para pemuda,” ujarnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: