Menengok Sejenak Pura Pakualaman, Sebuah Kraton yang Nyaris Dilupakan

Menengok Sejenak Pura Pakualaman, Sebuah Kraton yang Nyaris Dilupakan

Pura Pakualaman merupakan satu dari dua istana yang ada di Daerah istimewa Yogyakarta. Seperti halnya Kraton Kasultanan Yogyakarta, kompleks Pura Pakualaman juga dilengkapi dengan alun-alun, masjid, serta museum. Selama ini orang hanya mengenal Kraton Yogyakarta sebagai satu-satunya bangunan istana tempat tinggal raja. Padahal, hanya berjarak sekitar 2,5 km ke arah timur Kraton, terdapat istana lainnya yakni Pura Pakualaman. Jika raja yang berkuasa di Kasultanan Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono, maka Pura Pakualaman dipimpin oleh GPA Paku Alam. Kompleks istana Paku Alaman lebih kecil dan lebih sederhana jika dibandingkan dengan Kraton Yogyakarta. Di depan gerbang terdapat lapangan yang ditumbuhi rimbunnya pohon beringin. Lapangan tersebut bernama Alun-alun Sewandanan. Saat sore tiba, alun-alun tersebut akan dipenuhi penjual kaki lima dan biasa dijadikan tempat nongkrong serta salah satu lokasi wisata kuliner yang asyik. Berbeda dengan Kraton Kasultanan yang menghadap ke Merapi atau ke utara, maka Pura Pakualaman menghadap sebaliknya yakni menghadap ke selatan. Hal ini sebagai bentuk pernghormatan kepada Kraton Kasultanan yang lebih dulu berdiri. Berdirinya Negeri, Praja, atau Kadipaten Pakualaman tidak terlepas dari polemik yang melanda Kasultanan Yogyakarta semasa era Sultan Hamengkubuwono (HB) II. Ketika itu tanah Jawa secara bergantian dikuasai Belanda dan Inggris pada awal dekade kedua abad ke-19. Melalui perjanjian pada 1813 dengan pihak Inggris, Sultan HB II diwajibkan menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Notokusumo. Pangeran ini adalah adik tiri Sultan HB II yang membantu Inggris memadamkan pergolakan di Yogyakarta kala itu (Djoko Marihandono & Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono 2, 2008:159). Sebagai sesama putra Sultan HB I, Notokusumo merasa berhak menikmati kekuasaan. Adapun wilayah yang diserahkan Sultan HB II kepada Notokusumo meliputi area khusus di dalam Kota Yogyakarta dan kawasan yang disebut Adikarto (sekarang terletak di Kabupaten Kulon Progo bagian selatan) seluas 4.000 cacah. Selanjutnya, berdasarkan kontrak politik yang disepakati pada 17 Maret 1813 antara wakil Inggris dan Pangeran Notokusumo, maka berdirilah suatu pemerintahan baru di Yogyakarta -– di luar kesultanan yang tetap dipimpin oleh sultan — bernama Kadipaten Pakualaman. Tanggal 29 Juni 1813, Pangeran Notokusumo dinobatkan sebagai penguasa Pakualaman dengan gelar Paku Alam I (Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, 1985:148). Oleh Inggris, Paku Alam I diakui sebagai pangeran merdeka, diberikan tanah, tunjangan, pasukan, hak memungut pajak, serta hak takhta turun-temurun. Dengan demikian, sejak saat itu terdapat dua kerajaan di Yogyakarta dengan pemimpin dan segala perabotan kekuasaannya masing-masing, yakni Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakulaman. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: