Puisi, Perang Dunia, dan Indonesia Menjelang Pemilu Raya

Puisi, Perang Dunia, dan Indonesia Menjelang Pemilu Raya

PERANCIS menjelang pecah perang dunia II: para politisi menggelar rapat bertubi-tubi, para perwira sibuk berkoordinasi, moral tempur prajurit dipompa, semangat bela negara terus dikobarkan ke seluruh dada rakyatnya. Menjelang perang dunia II, menjelang penyerbuan tentara Jerman ke jantung kota: stratak perang dirancang, benteng-benteng pertahanan disiapkan, kanal-kanal isolasi digali, kamp pengungsian pun dibangun. Di hari itu, seisi Perancis bagai putra-putra Hastina yang bersiap memerahkan Kurusetra. Tapi lalu aneh. Di tengah gegap-gempita menjelang perang, Les Feuilles Mortes muncul sebagai lagu bersama. Daun-daun kering berguguran/…angin utara berhembus/…kau begitu cantik/…kenangan dan penyesalan/…tapi cintaku tenang dan setia. Les Feuilles Mortes adalah lagu yang mengisahkan kenangan bersama seorang perempuan di suatu musim yang tak terlupa. Les Feuilles Mortes: sederhana, tenang, menghanyutkan. Denting piano berlompatan di antara gesekan cello, sayatan biola, rintik-rintik harva—serupa mantra yang melucuti kesadaran dan melemparkan kita pada kenangan. Orang-orang Perancis menyukainya. Semua babak dan adegan nyaris selalu diiringi lagu itu. Makan malam, berdansa dengan pasangan, bahkan saat meracik haute cuisine di atas wajan. Kita boleh bertanya, mengapa di masa-masa menjelang ganasnya perang, justru lagu romantis yang banyak didengar orang? Di sini, revolusi fisik telah melahirkan lagu-lagu yang kebanyakan mewakili semangat jamannya. Mars: jenis lagu perjuangan dengan kobaran semangat dan cenderung agung. Birama 2/4, 4/4, atau 6/8 dengan aksentuasi pada tiap ketukan menjadikannya lagu penyemangat yang menggebrak dan menghentak-hentak. Tapi perang, bahkan dalam pengertiannya yang paling purba, selalu memiliki sudut-sudut remang yang menyimpan sunyi. Sehelai kain William Wallace yang dimiliki Robert Bruce adalah bentangan sunyi. Selembar foto perempuan yang ditemukan dari saku mayat seorang serdadu adalah pecahan sunyi. Sesunyi tangis Muhammad untuk para mujahid perang Mu\'tah di utara Yordania, atau tatapan kosong Shalahudin al-Ayubi saat ia memasuki gereja Yerusalem yang baru saja ditaklukkannya. Sebab itu hymne muncul. Ia menjadi semacam gita puja atas tiap pengorbanan yang terlibat di dalamnya. Dan kita bertanya, mengapa lagu-lagu juang di sebuah negeri yang menjadi sasaran Operasi Fall Gelb pasukan Panzer-7 itu seakan tak ada? Octavio Paz, seorang sastrawan mashur asal Meksiko pernah menyebut puisi sebagai “suara lain”. Suara yang menamai segala yang samar. Yang menandai getar-getar halus dalam kalbu manusia. Sebuah suara yang berdiri pada masa lampau, kini dan esok tanpa titimangsa. Kenapa puisi disebut “suara lain”? Dalam esai The Other Voice-nya Paz menjawab: “…sebab ia adalah hasrat dan visi-visi.” Di titik inilah saya tak setuju dengan penyair besar WS. Rendra. Hidup di negara dunia ketiga dan berhadapan dengan puisi-puisi yang melulu mengisahkan anggur dan rembulan memang menjengkelkan. Namun saya menolak menjadi seorang ekstremis. Puisi dapat menjadi alat perjuangan kelas, namun bisa juga sesekali bolos dari kelas. Puisi memang boleh menjadi saksi atas segala ketidakadilan, namun puisi juga berhak mencatat apa-apa yang tak tertangkap indra dan pengetahuan. Demikianlah Les Feuilles Mortes. Dari dunia seberangia mendesir, menandai, dan mengada sebagai “yang lain” di hadapan kenyataan. Ia mewakili hasrat sekaligus visi yang beranjak bahkan dari tiada. Ia nyata dan menyejarah, namun sesekali bukan sebagai mimesis. Dan di Perancis, saat menjelang perang, Les Feuilles Mortes menjadi suara yang tak tertepiskan. Orang-orang Perancis tahu bahwa perang akan segera datang. Tahu bahwa lawan yang akan dihadapi adalah yang tercepat dalam sejarah militer dunia. Mereka juga mengenal Komandan Führer-Begleitbattalion, Erwin Rommel, yang oleh Sir Winston Churcill (Perdana Menteri Britania Raya),musuh bebuyutannya, diakui sebagai jenderal paling jenius. Tapi, jika mesti terjadi, masyarakat Perancis agaknya menolak mati sebagai benda mati. Kita tak sedang membicarakan asketisisme.Namun terlihat benar, dimensi rohani tak sekadar diafirmasi tetapi juga dihidup-hidupi. Sejumlah seniman dan filsuf menganggap dualisme tubuh semacam ini sebagai tuntutan roh, identik otentik dan senantiasa mentenagai daya hidup dan daya kreasi. Dan kitasama-sama tahu betapa bangunan kebudayaan masyarakat Perancis memang bertumpu pada itu. 19 Agustus 1944. Paris yang sudah empat tahun diduduki Jerman di ambang jatuh ke tangan sekutu. Seorang komandan militer Jerman yang berwenang di sana, von Choltitz, tiba-tiba mendapat perintah pribadi dari Adolf Hitler untuk mempertahankan Paris dengan cara meledakkan semua jembatan di atas sungai Seine yang mengeililngi kota. Ia juga dipaksa meluluh-lantakkan tiap bangunan mashur yang ada di dalamnya. Bagi Choltitz, perintah di suatu pagi yang paling menentukan kota Paris itu adalah dilema. Meski akhirnya sejarah mencatat—logika militer tak akan pernah bisa memahami ini, Choltitz seperti terkena sihir hingga seorang Hitler pun tak diacuhkannya. Empat hari kemudian, sebab perintahnya tak kunjung dilaksanakan, Hitler menghubungi bawahan Choltitz, Kepala Staff Tentara Grup B, Generalmajor Hans Speidel. Ia memberi perintah serupa. Sang Fuhrer alpa jika kedua jenderal ini pencinta berat kota Paris. Jejak-jejak masa silam, museum, taman kota, gedung pertunjukan, kafe-kafe, dan tentu saja Eifel, semua begitu tampak estetis dan impresif. Hingga belum juga tentara sekutu mendarat di Normandia, kedua jendral itu bersepakat:  apa pun yang terjadi, kota Paris tak boleh dihancurkan. Paris dengan segenap lanskap yang dimilikinya memang utuh. Perang dapat dicegah oleh seorang konsul Swedia bernama Raoul Nordling yang menengahi kedua pihak berseteru. Tertanggal 24 Agustus 1944, Jenderal von Choltitz bersama pasukannya menyerah pada Sekutu. Mendengarnya, Hitler murka. Seorang Hitler yang dikenal sejarah tentu tak akan bisa menerima kejadian semacam ini. Ia pun tak butuh berpikir untuk memberi perintah pada pasukannya agar seketika itu menghujani Paris dengan bom terbang V-1 dan mortir-mortir raksasa 88 mm. Tapi rupanya sihir memang tak selalu berupa gugusan mantra. Perintah kembali digagalkan oleh General der Infanterie Günther Blumentritt. Komandan GIGB saat itu memberikan pertimbangan bahwa cadangan amunisi menipis. Belakangan diketahui, merujuk pada pengakuan jenderal Jerman bernama Bodo Zimmermann, komandan bersangkutan ternyata seorang perwira pencinta kota Paris lainnya. Daun-daun kering berguguran/…angin utara berhembus/…kau begitu cantik/…kenangan dan penyesalan/…tapi cintaku tenang dan setia. Les Feuilles Mortes bukan sekadar lagu. Di sebuah kota yang awas terhadap “suara-suara lain” itu, Les Feuilles Mortes adalah satu peristiwa. Sebuah paradoks sejarah. Sebagaimana kemudian kita menyaksikan seorang Albert Camus yang Aljazair mengecam gerakan front Aljazair merdeka, sedang Sartre di Paris justru mendukungnya. Kita di sini juga punya paradoks itu. Terutama karena menjelang pemilu: para kader diajari pukul sana-sini, jutaan massa dicocok-dimobilisasi, floating mass disandera, polisi dan tentara terus siaga di mana-mana. Menjelang hari pemilu raya, menjelang pencoblosan atau pencontrengan sepasang nama: para politisi membual ke sana ke mari, para kandidat berebut umbar janji seraya bersiap mengingkari, segala jargon dipamerkan sebagai yang tak pernah menjadi kenyataan, segenap aspirasi pun ditampung untuk kemudian tak pernah dijadikan kebijakan. Orang sudah lupa dengan ide tol laut, mobil esemka, juga dolar yang terus naik. Orang mulai abai dengan hutang negara yang terus membengkak, pajak-pajak yang dikalilipatkan, subsidi-subsidi yang dicabut, BUMN yang menggap-menggap dan tergadai, juga kepungan barang-barang impor yang mematikan industri dalam negeri. Di hari itu, seisi nusantara bagai perayaan panjang kepalsuan demi kepalsuan. Tapi lalu aneh. Di tengah siklus eksploitasi lima tahunan yang akan diperpanjang kontraknya, semangat juang menjadi ekspresi bersama. Orang terus menjilat penguasa, memosisikan mereka hampir menggantikan nabinya. Kampret dan Cebong pun terus khusyuk gontok-gontokan di segala media. Anda boleh bertanya, mengapa orang-orang begitu bersemangat menyambut seisi negeri yang, meminjam istilah seorang tokoh politik Rusia, Mikhail Bakunin, sudah seperti rumah jagal, di mana segala daya hidup menyerahkan dirinya untuk dicincang dan dikubur? Mengapa orang-orang begitu bergairah menyongsong—kali ini dari penyair Rendra, masa depan yang digadaikan? Jika ini emosi dan harapan-harapan yang terus direproduksi, mengapa buih-buihbegitu menghapus guratan batu? Maaf jika saya lebih memilih menghabiskan waktu dengan menonton film-film atau pergi ke pegunungan Bogor dan menuliskan percintaan pada sisa-sisa dingin kabut pagi. Saya percaya pada “the other voice”. Sebagaimana sekali ini, di republik yang sebentar lagi menggelar pesta demokrasi ini, saya juga percaya pada “the other choice”(*) *Bukan Budayawan, tinggal di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: