Kisah Lain Batu Tulis Bogor
Agustus 2002, belum lindap betul dari ingatan saat Said Agil Husin Al Munawar, Menteri Agama di era Presiden Megawati, menginstruksikan penggalian di lokasi situs bersejarah tersebut. Alasannya hebat nian, atas informasi dari seseorang yang namanya dirahasiakan diduga di lokasi prasasti tersebut terdapat harta karun peninggalan Prabu Siliwangi. Jika harta karun itu berhasil ditemukan, maka akan diserahkan kepada negara untuk membayar utang. Tentu saja orang Sunda, khususnya warga Bogor, meradang. Dalam proses penggalian, alih-alih mendapatkan harta karun, yang terjadi adalah kerusakan lokasi situs yang lokasinya persis di seberang Istana Batutulis. Dalam kasus ini, kesedihan yang paling membekas bukan terutama kerusakan lokasi, tapi ihwal akal sehat yang terguncang: pejabat negara dengan pangkat mentereng Menteri Agama, meyakini ada harta karun peninggalan zaman kerajaan, dan mencoba menggalinya demi membayar utang negara. Prasasti Batutulis dibuat Prabu Surawisesa, Raja Sunda yang berkuasa selama 14 tahun (1521-1535 M) untuk mengenang kejayaan ayahnya (Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi). Prasasti itu dibuat di tengah kepiluan karena wilayah kekuasaan warisan ayahnya tersebut mulai tanggal satu persatu, direbut hegemoni kekuatan politik baru, yaitu kerajaan Islam. Terdesaknya Kerajaan Sunda yang Hindu dan beribukota di Pakuan Pajajaran, sebetulnya sudah diantisipasi oleh Sri Baduga Maharaja. Bentuk antisipasinya adalah menjalin kerjasama dengan Portugis. Bahkan Surawisesa sendiri yang dua kali diutus pergi ke Malaka menemui Portugis. Pada 1512, dikutip Hageman dalam Geschiedenis der Sundalanden, menyebutkan ada raja Sunda bernama Samiam datang ke Malaka untuk merundingkan urusan dagang dengan Alfonso d’Albouquerque. Pada 1521, raja tersebut datang untuk yang kedua kali. Karena tertarik menjalin hubungan dagang dengan Sunda, maka Alfonso d’Albouquerque mengutus iparnya, Henrique de Leme, untuk memimpin utusan Portugis pergi ke ibukota Sunda pada 1522. Dalam teks yang ditulis orang Portugis itu, ada penumpukan informasi yang bisa mengacaukan persepsi sejarah. Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi menjelaskan bahwa berita Portugis tersebut ditulis dengan jarak yang cukup jauh dari kejadiannya. Mereka menuliskan nama disekaliguskan. Ratu Samiam yang datang ke Malaka pada 1512 dan 1521 disebut “Red e Zunda” (Raja Sunda). Padahal pada tahun-tahun tersebut, Samiam atau Surawisesa, masih sebagai putera mahkota. Sedangkan pada 1522, ketika utusan Portugis melakukan kunjungan balasan, Samiam telah menggantikan ayahnya sebagai raja Sunda. Saleh Danasasmita menambahkan bahwa secara logika tidak mungkin seorang raja pergi berlayar mengarungi samudera yang penuh marabahaya hanya untuk misi dagang dan kerjasama. Jadi, menurutnya, yang pergi ke Malaka adalah Samiam/Surawisesa yang diutus oleh ayahnya. Saat itu, dalam analisis Saleh Danasasmita, ia belum menjadi raja.
Dalam naskah Carita Parahiyangan, Surawisesa disebutkan terlibat 15 kali peperangan dalam rangka mempertahankan wilayahnya, terutama di pesisir utara Jawa dari gempuran armada Demak dan Cirebon. Hal itu terjadi hanya dalam kurun waktu 14 tahun kepemimpinannya di Sunda. Perang melawan Demak disinggung dalam naskah tersebut dengan menyebut nama beberapa tempat, di antaranya Wahanten Girang, Ancol Kiyi, dan Kalapa. Saleh Danasasmita dalam bukunya yang lain, Menemukan Kerajaan Sunda, menjelaskan bahwa perjanjian antara Sunda dan Portugis mencemaskan Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan Demak III. Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai sudah menguasai Selat Malaka yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara. Jika Selat Sunda sebagai pintu masuk yang lain dikuasai juga oleh Portugis akibat perjanjian tersebut, maka otomatis jalur perdagangan laut Demak terputus, padahal jalur tersebut adalah urat nadi kehidupan ekonomi. Untuk mengatasi ancaman ini, Trenggana segera mengirimkan armada yang dipimpin senapati Demak, Fadillah Khan. João de Barros (sejarawan Portugis) menyebutnya Faletehan. Sementara Tome Pinto (petualang Portugis) menyebutnya Tagaril yang mungkin ucapan Portugis untuk \"Ki Fadil\" (julukan Fadillah Khan sehari-hari). Gabungan pasukan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fadillah Khan berjumlah 1.967 orang. Sasaran pertamanya adalah Banten sebagai pintu masuk Selat Sunda. Setahun kemudian, bersama 1452 pasukannya, Fadillah Khan menyerang Pelabuhan Kalapa. Pemimpin yang betugas di Kalapa beserta keluarganya, serta para menteri yang bertugas di pelabuhan, ditemukan tewas. Pasukan bantuan dari Pakuan Pajajaran pun berhasil dipukul mundur. Portugis yang terikat perjanjian dengan Sunda mencoba mengirimkan bantuan, namun terlambat. Fransisco de Sa yang sedang bertugas membangun benteng di Kalapa diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Pasukan yang akan berangkat ke Sunda dengan enam buah kapal dipersiapkan dari Goa. Kapal yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk benteng terpaksa ditinggalkan karena diterpa badai di Teluk Benggala. Bantuan ke Sunda kemudian dilanjutkan dengan bertolak dari Malaka. Karena Banten dikuasai pasukan Hasanudin (Sultan Banten), maka Portugis langsung menuju Pelabuhan Kalapa, yang sialnya — karena situasi telah berubah — kapalnya terlalu menepi terlalu dekat ke pantai, akhirnya langsung dihajar armada Fadillah Khan. Di sebelah timur, pasukan Cirebon mencoba bergerak lebih jauh ke selatan, berusaha menggerogoti wilayah Sunda. Dengan bantuan Demak, Cirebon berhasil mengalahkan Galuh. Lalu dua tahun kemudian Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh berhasil direbut. Meski sebelah timur Citarum telah dikuasi Cirebon, namun mereka masih belum bisa menembus ke barat, ke Pakuan Pajajaran. Meski digempur habis-habisan, Surawisesa berusaha mati-matian untuk mempertahankan wilayahnya. Maka di sekujur perbatasan antara Sunda dan Cirebon diamuk peperangan yang hebat. Tahun 1531, Surawisesa dan pemimpin Cirebon, Syarif Hidayat, menyepakati perdamaian. Dalam situasi seperti inilah kemudian Surawisesa mempunyai kesempatan untuk mengurusi masalah dalam negerinya. Beberapa pemberontakan dipadamkam, dan ia mencoba menerawang situasi diri dan kerajaannya. Warsa 1533, bertepatan dengan 12 tahun setelah ayahnya wafat, Surawisesa membuat sakakala berupa tanda peringatan bagi mendiang ayahnya dengan menyebutkan karya-karya sang ayah selama beliau memimpin Sunda. “Mungkin pemasangan batu-tulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu ‘penyempurnaan sukma’ yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi,” tulis Saleh Danasasmita. Tanda peringatan itulah yang hari ini dikenal dengan prasasti Batutulis, dengan terjemahan sebagai berikut: “Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (untuk) Prabu Ratu almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, mengeraskan (jalan) dengan batu, membuat hutan samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (ditulis) Dalam tahun Saka lima-pandawa-pangasuh-bumi.” (Menemukan Kerajaan Sunda, hlm 47) Empat setengah abad kemudian, setelah Surawisesa menuangkan kenangan dan kesedihannya, di sekitar lokasi prasasti Batutulis digali atas perintah Menteri Agama. Harta karun tak didapat, Menteri Agama hanya menabur angin dan menuai badai. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: