Yang Perlu Anda Tahu dari Media Sosial
“Tampaknya tidak dapat disangkal bahwa kini media sosial harus menanggung sebagian kesalahan atas surutnya masyarakat ke dalam neo-fasisme, politik tribalisme, ketidaktahuan, dan prasangka yang telah kita saksikan beberapa tahun terakhir.” Demikian tulis Ronald J. Deibert, seorang profesor ilmu politik dari University of Toronto dan Direktur Citizen Lab di Munk School of Global Affairs and Public Policy dalam studinya yang berjudul “The Road to Digital UnFreedom” yang diterbitkan dalam Journal of Democracy Januari ini. Argumen Deibert sulit disangkal jika menilik kondisi politik di sejumlah negara dan keadaan media sosial selama beberapa tahun terakhir. Kini, media sosial yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat tampaknya sudah mulai beralih menjadi medium bagi praktik otoritarianisme yang efektif. Dibalik kecanggihan teknologi digital di Cina, misalnya, tersimpan kenyataan yang cukup mengkhawatirkan bagi pegiat demokrasi di seluruh dunia. Setidaknya, ini mulai tampak dari rencana Cina untuk menerapkan sistem kredit sosial yang ditargetkan berjalan penuh pada 2020. Sistem kredit sosial diberlakukan pemerintah Cina untuk menilai warga negara berdasarkan setiap tingkah laku. Pertanyaannya sederhana: apakah mereka bisa dipercaya? Jika mereka mendapat skor yang baik berdasarkan standar yang telah ditentukan pemerintah, maka kehidupan pun akan lebih mudah. Sebaliknya, jika si warga negara gagal memenuhi skor minimal, maka kehidupan mereka akan dipersulit. Business Insider melaporkan warga negara yang mendapatkan skor buruk dalam sistem tersebut, misalnya, tidak diperkenankan untuk naik kereta api atau pesawat, tidak memperoleh akses pada sekolah terbaik, serta mustahil mendapatkan akses pada pekerjaan terbaik. Tujuannya satu: agar kontrol sosial lebih mudah diterapkan oleh Pemerintah Cina dan rakyat lebih patuh pada Partai Komunis Cina (PKC). Ide kredit sosial ini sesungguhnya sudah diterapkan di sejumlah negara. Di Australia, misalnya, mereka yang ingin menjadi permanent resident harus mendapatkan poin tertentu agar aplikasi mereka diterima. Namun, seperti dilaporkan Wired, ide kredit sosial yang mulai didengungkan sejak 2014 di Cina menjadi hal yang tampak lebih mengkhawatirkan karena mekanisme pengawasan terhadap gerak-gerik warga negara akan melibatkan perusahaan teknologi, termasuk yang berkecimpung di bisnis media sosial seperti Tencent dan Alibaba. Dalam sejumlah proyek percontohan, hal ini sudah diterapkan di Cina baik oleh sektor privat maupun dari pemerintah sendiri. Akibat sudah bisa ditebak: mereka yang vokal terhadap pemerintah tidak dapat bergerak bebas kendati tidak bersalah secara hukum. Seorang jurnalis Cina bernama Liu Hu adalah salah satu contohnya. Masih dari Wired, Liu merupakan salah seorang warga negara Cina yang tidak dapat mengakses layanan transportasi seperti kereta dan pesawat, tak boleh pula membeli properti dan mengajukan pinjaman. Sebagai catatan, ia kerap menulis berita mengenai penyensoran serta korupsi di pemerintahan. “Tidak ada berkas, tidak ada surat perintah polisi, tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu secara resmi. Mereka hanya memotong akses saya dari hal-hal yang sebelumnya menjadi hak saya,” kata Liu. “Yang benar-benar menyeramkan adalah tidak ada yang bisa kamu lakukan. Kamu tidak bisa melapor kepada siapa pun. Kamu terjebak di antah-berantah.” Poin penting Deibert lainnya adalah praktik otoritarianisme dalam media sosial lekat dengan disinformasi serta berita-berita bohong, teori-teori konspirasi atau propaganda. Diebert mengutip sebuah survei dari Oxford Internet Institute berjudul “Challenging Truth and Trust: A Global Inventory of Organized Social Media Manipulation“ (2018) yang menyebutkan bahwa di 48 negara setidaknya terdapat satu badan pemerintahan atau partai politik yang terlibat dalam pembentukan opini publik melalu media sosial. Jumlah 48 negara tersebut, menurut laporan itu, merupakan sebuah peningkatan dari yang sebelumnya berjumlah 28 negara. Lebih lanjut, seperlima dari 48 negara tersebut menyebarkan kampanye disinformasi melalui aplikasi media sosial seperti WhatsApp, Telegram dan WeChat. Esai yang ditulis oleh Seva Gunitsky berjudul “Corrupting the Cyber-Commons: Social Media as a Tool of Autocratic Stability” (2015) turut menegaskan fenomena itu. Menurut Gunitsky, beberapa tahun terakhir para elite politik yang menunjukkan tendensi otoriter semakin gencar menggunakan media sosial untuk kepentingan politik mereka, selain menjamin stabilitas rezim. “Otokrat telah mulai bergerak di luar strategi ‘kontrol negatif’ dari internet. Strategi yang diambil rezim berubah: dulu mereka berusaha memblokir, menyensor, dan menghambat aliran komunikasi. Kini mereka mengarah ke strategi kooptasi yang menggunakan media sosial untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu dari rezim,” tulis Gunitsky. Diebert berpendapat bahwa praktik otoritarianisme bertujuan untuk “mengontrol orang dan menabur kebingungan, ketidaktahuan, prasangka, dan kekacauan untuk merusak akuntabilitas publik.” Sistem media sosial, lanjutnya, memfasilitasi hal tersebut dengan mudah. Seiring banjir informasi di media sosial terkait disinformasi, propaganda dan teori konspirasi, masyarakat kemudian tidak lagi antusias untuk mencari kebenaran yang obyektif karena mereka sudah muak dan lelah. Akibatnya, orang kemudian mempertanyakan integritas seluruh media massa. Kondisi yang ia sebut sebagai salah satu target yang dituju dari praktik otoritarianisme, merujuk dari tulisan Neil MacFarquhar berjudul “A Powerful Russian Weapons: The Spread of False Stories”. Problemnya, Diebert menilai bahwa perusahaan media sosial sulit untuk menghentikan praktik-praktik tersebut selama model bisnis mereka masih bertumpu pada menjaring pengguna atau pelanggan agar dapat mengumpulkan data yang akan digunakan untuk menjaring pemasukan lewat iklan atau menjual iklan dengan big data. Pertanyaannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah membesarnya arus otoritarianisme melalui media sosial? Menurut Diebert, ada beberapa hal. Pertama, orang harus memperlakukan informasi dengan hati-hati. Kedua, pada saat yang bersamaan sistem edukasi publik harus dibangun dengan menempatkan literasi media, etika, kesopanan dan toleransi sebagai fondasi dasarnya. “Kita perlu membayangkan dunia yang lebih baik dan mulai mewujudkannya, sebelum semuanya terlambat,” tulis Diebert. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: