Korban Revenge Porn Belum Ada Payung Hukum
Kasus lain yang lumayan ramai dibicarakan adalah Kriss Hatta dan Hilda. Kriss mengungkapkan jumlah hubungan seksual yang dilakukan bersama Hilda selama dua tahun menikah di media sosial. Ancaman mengedarkan foto atau video pribadi sudah sering terjadi. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2017, terdapat 19 kasus serupa Maya. Baca: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2018 Dalam catatan tersebut, dijelaskan bahwa kejahatan siber dengan korban perempuan seringkali berhubungan dengan tubuh yang dijadikan objek pornografi. \"Salah satu bentuk kejahatan siber yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto/video pribadi di media sosial dan/atau situs pornografi,\" demikian intisari laporan tersebut. Komisioner Komnas Perempuan, Indriyati Suparno, mengatakan persoalan ini memang sudah genting. Revenge porn, istilahnya. Revenge porn banyak dilakukan orang terdekat korban. \"Salah satu yang paling banyak adalah ancaman penyebaran foto dan video pribadi, bentuknya domestic violance yang pelakunya orang terdekat, seperti suami, mantan suami, pacar, atau mantan pacar,\" kata Indriyati saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat. Indriyati mencontohkan, salah satu kasus yang sempat masuk ke Komnas Perempuan adalah laporan seorang perempuan yang suaminya mengancam untuk menyebar video intim mereka berdua. \"Kasus istri yang mau menggugat suaminya dan menceraikannya, tapi diancam dengan video intim yang pernah mereka dokumentasikan,” kata dia. Orang-orang yang mengalami kejadian tersebut akan tetap berada dalam situasi sulit dan pelaku tetap bisa berlaku seenaknya. Menurut Indriyati, ini terjadi karena belum adanya payung hukum yang mengatur masalah revenge porn. \"Pelecehan seksual yang belum diatur itu ada di dalam ruang lingkup yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), termasuk juga kekerasan seksual di dunia maya yang tadi, ancaman distribusi foto maupun video pribadi yang dilakukan oleh pelaku kekerasan,\" kata Indriyati. Menurut Indriyati, persoalan kekerasan seksual di dunia maya selama ini diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDTR). Namun hal tersebut hanya berlaku jika memang terjadi dalam hubungan suami dan istri. Ini tidak mencakup hubungan pacaran atau di luar pernikahan. \"Lebih sulit lagi [diselesaikan] karena kendala hukum positif kita, terutama untuk proses pidana itu,\" jelasnya. Atas dasar itu, Indriyati mendesak RUU PKS segera disahkan. Salah satu poin yang tercakup di dalamnya yakni mengenai kekerasan seksual di dunia maya. Namun penyelesaian RUU PKS di DPR terkatung-katung. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Sodik Mudjahid mengatakan banyak kendala yang membuat pembahasan RUU tersebut mandek. Salah satunya yakni rapat yang sering tidak memenuhi kuorum. \"Kendalanya ya tadi: masalahnya meluas, ada perbedaan pendapat, dan kami sudah masuk dalam tahun yang sibuk. Hal teknis semacam kuorum agak susah tercapai,\" kata Sodik di kompleks DPR RI. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: