Warga Argasunya Tak Tahu Galian Sudah Ditutup

Warga Argasunya Tak Tahu Galian Sudah Ditutup

CIREBON-Awal pekan kemarin menjadi puncak kekesalan warga Kampung Kopi Luhur. Hadi (40) bersama puluhan rekannya mendatangi kantor Kelurahan Argasunya. Mereka menyampaikan protes. Atas beroperasinya eskavator di lokasi tambang pasir. “Backhoe melanggar aturan,” ucap Hadi di hadapan Lurah Argasunya Dudung Abdul Barry. Mereka menuntut pemerintah kota menghentikan aktivitas penambangan. Khususnya yang menggunakan alat berat. Protes ini dilatarbelakangi terganggunya mata pencaharian warga setempat sebagai kuli pasir.  “Kalau begini, kami bisa nganggur,” ucapnya. Sebenarnya aktivitas galian tipe c di Kelurahan Argasunya sudah ditutup. Payung hukumnya; Peraturan Walikota (Perwali) 16/2004. Di lapangan kondisinya tak demikian. Material pasir terus keluar. Diangkut truk dengan tonase di atas 5 ton. Aktivitas galian juga jauh dari kata aman. Pantauan Radar Cirebon, cara para penambang pasir ini mirip menggali terowongan. Bagian bawah tebing dikeruk. Sampai jadi cekungan. Rotib salah satu yang turut bekerja di area itu. Menjadi kuli angkut. Yang membuatnya harus keluar masuk galian. Membawa material pasir dari dalam untuk kemudian dinaikan ke truk. “Kalau sudah urusan perut, gimana lagi. Kita butuh uang,” ujarnya. Upahnya Rp80 ribu/hari. Penghasilan segitu, lumayan untuk ukuran Kopi Luhur. Di wilayah itu, memang tak banyak yang bisa dikerjakan. Kalau tidak jadi kuli pasir, pilihan lain bekerja jadi pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur. Soal risiko longsor ini, Rotib menyebut di musim penghujan memang lebih rawan. Tanah basah, sehingga tebing pun labil. Dari catatan pemberitaan Radar Cirebon, kejadian kecelakaan memang terjadi di musim hujan. Memasuki musim hujan, para penggali tak berani mengambil pasir dengan model itu. Hanya cari di tempat-tempat tertentu yang dirasa aman. Masyarakat di Kampung Kopi Luhur, kadung terbiasa bekerja di areal penambagan pasir. Sampai-sampai mereka tak tahu kalau aktivitas itu dilarang. Juga tidak tahu ada program untuk alih profesi. Warga setempat Rofi\'i mengaku, tidak paham kalau galian sudah ditutup. Kegiatan ini tidak bisa lepas dari kesehariannya untuk mencari nafkah. Secara tradisional dirinya menambang pasir dari dulu. Kemudian datang pengusaha, awalnya mempekerjakannya dan warga lainnya. \"Dulu kami tuh masih bisa kerja. Sekarang pengusahanya pakai backhoe. Ya kami nggak bisa kerja lagi,” katanya. Aktivitas pengerukan tebing, sampai pengangkutan pasir ke truk sekarang ini cukup dengan alat berat. Sehingga para kuli pasir pun hanya jadi penonton. Dalam kesempatan wawancara beberapa waktu lalu, Ketua RW 08 Kopi Luhur Suharja menyebutkan, aktivitas galian c di Argasunya sudah berjalan dari tahun 1970. Lahan galian sebagian besar milik perorangan. Sejauh ini, pihaknya sendiri masih menginventarisir pemilik lahan galian. Jumlahnya belum dapat diketahui. Suharja mengungkapkan, warga bukannya tidak mengetahui risiko bekerja di galian. Kecelakaan yang terjadi bukan sekali saja. Bahkan korban jiwa juga sudah banyak. Namun warga tetap bertahan karena tidak punya pilihan lain. \"Kalau di sini, kalau bukan kerja di  galian ya mulung sampah. Udah mau ke mana lagi?” katanya. (gus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: