Kasus OTT Sunjaya, Bupati Telepon Gatot Tanya Soal Uang Rp100 Juta

Kasus OTT Sunjaya, Bupati Telepon Gatot Tanya Soal Uang Rp100 Juta

BANDUNG-Gatot Rachmanto pasrah. Ia menyesal telah masuk dalam sistem Sunjaya Purwadisastra. Gratifikasi yang ia berikan berujung operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Apa yang dilakukannya disebabkan oleh sistem kebijakan yang dibangun bupati Cirebon nonaktif itu dalam perekrutan dan pengisian jabatan di lingkup Pemkab Cirebon. “Sejak awal saya ditangkap, saya mengaku dan menyesal telah melakukan perbuatan tersebut (memberikan uang pada Sunjaya, red),” katanya saat  bertemu Radar Cirebon usai persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (30/1). Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), rasanya Gatot sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meniti jenjang karir sesuai dengan aturan yang berlaku. “Tapi sistem yang dibangun oleh bupati, mengharuskan ada hal-hal di luar proses administrasi,” ungkap pria yang dilantik Sunjaya menjadi Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) itu. Ia pun mengaku, gratifikasi tidak akan dilakukan apabila dalam perekrutan pengisian jabatan di berbagai Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) menggunakan sistem yang profesional dan proporsional. “Siapa yang berprestasi secara otomatis berhak untuk promosi dan tidak perlu lagi ada hal-hal yang di luar administrasi dan koordinasi,” bebernya. Terkait dengan sanggahan yang disampaikan Sunjaya saat memberikan keterangan sebagai saksi pada sidang pekan lalu, Gatot menyerahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan dan majelis hakim. “Adalah menjadi hak beliau untuk menyangkal semua hal yang menjadi fakta di persidangan dengan sumber para saksi yang sudah dimintai keterangan. Adapun hasilnya, itu menjadi kewenangan jaksa penuntut umum dan majelis hakim,” ucapnya. Dari beberapa proses persidangan yang sudah dijalani, ia berharap majelis hakim bisa memberikan putusan hukum yang seringan-ringannya. “Dari awal saya selalu kooperatif dan setiap kali memberikan keterangan di persidangan sesuai dengan fakta dan bukti yang ada. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan majelis hakim,” harapnya. Terkait jalannya sidang kemarin, Gatot menjelaskan bahwa jaksa penuntut umum dan majelis hakim meminta keterangan atau kronologi peristiwa gratifikasi sampai dengan proses penangkapan oleh KPK di kediamannya pada Oktober 2018 lalu. “Saya berikan keterangan sesuai dengan fakta yang ada. Peristiwa ini ada awalannya gitu loh. Termasuk ketika saya sampai ditelepon oleh bupati langsung, kaitannya dengan kewajiban memberikan uang tersebut,” jelasnya. Gatot sendiri akan menjalani sidang lanjutan pada Rabu pekan mendatang dengan materi sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum. “Saya hanya bisa pasrah, sabar. Semoga peristiwa ini ada hikmahnya bagi saya dan bagi seluruh masyarakat Kabupaten Cirebon,” pungkasnya. Sidang Gatot pada Rabu lalu (23/1), Sunjaya memang dihadirkan sebagai saksi. Sunjaya kemudian menyangkal semua keterangan yang disampaikannya di berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik KPK. Termasuk rekaman percakapan Sunjaya dengan ajudannya bernama Deni Syafrudin. Saat jaksa KPK memutar rekaman percakapan, terdengar Sunjaya menanyakan uang 100 dari Gatot. Kemudian dijawab Deni dengan mengatakan sudah terima 1 dari Gatot. Dalam dakwaan jaksa untuk terdakwa Gatot, angka 1 ini merujuk pada uang Rp100 juta dari Gatot kepada Sunjaya via Deni. Uang Rp100 juta itu sebagai imbalan dari Gatot karena telah dilantik Sunjaya sebagai Sekdis PUPR pada 3 Oktober 2018. Sunjaya lalu membantah makna \'sudah terima 1 dari Gatot\' itu sebagai uang. “Itu saudara Gatot maksudnya satu bundel berkas dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),” ujar Sunjaya. Jaksa pun kembali mempertanyakan maksud Sunjaya menanyakan 100. “Saya tidak menanyakan 100,” ujar Sunjaya lagi. Jaksa langsung menjawab; “Apa perlu diulang lagi,\" tegas jaksa. Rekaman pun diputar. Di rekaman, terdengar Sunjaya menghubungi Deni dan menanyakan 100 dari Gatot. Deni menjawab sudah terima 1. “Saya tidak menerima uang dari Gatot,\" timpal Sunjaya. Jaksa bertanya lagi apakah uang diterima dari Deni, Sunjaya kemudian mengaku tidak tahu. Tidak hanya tentang rekaman angka 100, juga ditanyakan tentang 3 rekening yang yang dibuka oleh Deni. Yakni atas nama Deni, Entik, dan Warno. Ada yang menarik dari tiga rekening yang dibuka oleh Deni. Dalam BAP saksi Deni, ia mengaku membuka rekening untuk seorang warga bernama Warno. “Keterangan dari saksi Deni bahwa Warno ini merupakan orang gila. Saksi Deni pada persidangan yang sudah lewat mengaku bahwa ia diperintahkan oleh Sunjaya,” ujar jaksa KPK Wiraksajaya. Wiraksajaya pada sidang itu membacakan keterangan Sunjaya untuk terdakwa Gatot Rachmanto. “Saksi meminta staf membuka rekening untuk menampung dana setoran dari ASN. Dengan rekening atas nama Deni, Entik dan Warno. Tujuannya agar dana besar tidak ditampung di satu rekening dan supaya tidak terlacak,\" ujar jaksa membacakan keterangan Sunjaya di BAP nomor 52. Namun keterangan tersebut dibantah sendiri oleh Sunjaya Purwadisastra. Jaksa KPK lainnya, Arin Kaniasari, sempat geram. “Penyidik KPK punya standar operasional untuk menyidik. Jika keterangan saksi tidak jelas seperti itu, sama saja dengan melecehkan penyidikan KPK,\" ujar jaksa. Usai sidang, Wiraksajaya mengatakan kualitas kesaksian Sunjaya akan jadi pertimbangan jaksa dalam penuntutan Sunjaya. Dari perdebatan di ruang sidang antara Sunjaya dan jaksa serta hakim, terungkap bahwa pada 3 rekening itu ternyata ada dua orang yang diduga berstatus orang gila (orgil). Walaupun semuanya tetap dibantah oleh Sunjaya. Menurut Sunjaya, rekening yang diatasnamakan pada orang gila, sebenarnya dikatakan ajudannya, Deni Syafrudin. “Saya pikir itu pernyataan ajudan. Pada saat saya periksa selanjutnya (diperiksa sebagai tersangka), saya baca banyak yang tidak sesuai. Tapi saya mengakui menandatanganinya,” kata Sunjaya di dalam ruang sidang. Pada kesempatan sidang, majelis hakim Rojai pun ikut memperjelas soal rekening tersebut. Namun, Sunjaya tetap membantah. “Saat itu saudara (Sunjaya, red) menyuruh carikan orang gila untuk buat rekening. Orang gilanya difoto, dibuatkan KTP dan ditandatangani Deni (ajudan, red). Namanya Warno dan Entik,” kata Rojai. (jun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: