TOP SECRET: Mengungkap Aksi Intelijen Ketika Tertangkap CCTV
Pada 4 Maret 2018, mantan mata-mata Rusia bernama Sergei Skripal keracunan bersama anak perempuannya, Yulia, di kediaman mereka yang terletak di Salisbury, Inggris. Otoritas setempat lantas mengaitkan kejadian ini dengan peristiwa serupa yang menimpa Dawn Sturgess dan Charlie Rowley, pada Juli setahun sebelumnya. Dilaporkan BBC, kasus keracunan yang menimpa Skripal “ada campur tangan Rusia.” Investigasi yang dilakukan Bellingcat mengungkap ada dua terduga dalam kasus Skripal. Salah satunya ialah sosok bernama Alexander Petrov. Dari hasil investigasi Bellingcat, Alexander Petrov adalah seorang dokter militer GRU, agen intelijen Rusia, bernama Alexander Yevgeniyevich Mishkin. Mishkin yang lahir di Loyga, sebelah utara Rusia sempat pindah ke St. Petersburg, yang dikaitkan dengan aktivitas pendidikan militer. Sebelum 2001, Mishkin menjadi siswa sekolah militer “S. Kirov.” Pada 2004, Mishkin diyakini lulus pendidikan dokter. Saat melancarkan aksi meracuni Skripal, Mishkin sudah berpangkat letnan kolonel di lembaga agen intelijen. Bagaimana Bellingcat mengidentifikasi Petrov sebagai Mishkin? Bellingcat mengklaim proses pencarian fakta dimulai dari visual CCTV terhadap tersangka pada kasus Skripal. Selain CCTV, Bellingcat menggunakan metode “reverse-image search” atau pencarian berbasis gambar untuk mencocokkan gambar yang diperoleh dengan basis data di dunia maya. Sayangnya, pencarian dengan metode tersebut tak membuahkan hasil. Lalu, pencarian diperluas dengan mencocokkan tangkapan gambar CCTV Petrov ke dokumen album perayaan kelulusan militer Rusia. Lagi-lagi, teknik ini gagal. Bellingcat terinspirasi dari peristiwa terungkapnya agen GRU lain bernama Eduard Shishmakov. Berbeda dengan agen mata-mata umum, banyak agen GRU yang hanya mengganti nama belakangnya. Sementara itu, nama depan, tanggal lahir, dan nama orangtua masih dibiarkan tak diganti. Berbasis bocoran data GRU yang dimiliki, citra CCTV pelaku, dan fakta di atas, Bellingcat akhirnya menguak siapa sesungguhnya Petrov ini. Mengungkap aksi intelijen yang diawali citra CCTV tak hanya terjadi pada kasus Skripal. Pada Februari 2017, Siti Aisyah, asal Indonesia, dan Doan Thi Huong asal Vietnam, ditangkap atas kasus pembunuhan yang dilakukan pada Kim Jong Nam, kakak tertua Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara. Baca: Siti Aisyah Sehat, Ini Pengakuannya soal Pembunuhan Jong-nam Dilaporkan The Guardian, pembunuhan yang dilakukan dua perempuan itu terjadi di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia. Doan mendatangi Kim dari belakang yang sedang duduk menunggu pesawat tujuan Macau. Perempuan itu mengoleskan cairan kimia VX, cairan kimia yang diklasifikasikan PBB sebagai senjata pemusnah massal, pada Kim Jong Nam. Siti terlihat mengawasi dari kejauhan. Tak sampai setengah jam, Kim Jong Nam meninggal. Sementara itu, gerak-gerik kedua perempuan, terekam kamera CCTV bandara. Menurut jaksa yang menuntut Siti dan Doan di pengadilan, dua perempuan itu bekerja bak “James Bond,” yang direkrut dan dilatih Korea Utara untuk membunuh targetnya. Eric L. Piza, akademisi pada City University of New York, dalam papernya berjudul “The History, Policy Implications, and Knowledge Gaps of the CCTV Literature: Insights for the Development of Body-Worn Video Camera Research” menyebut sejarah CCTV bisa ditarik hingga 1978. CCTV alias Closed-circuit television atau siaran yang menggunakan sinyal tertutup, dimanfaatkan secara drastis sebagai “alat pencegah kejahatan.” Menurut Piza, Inggris merupakan salah satu negara yang masif memasang CCTV di banyak sudut. Pada 2002, terdapat lebih dari 4,2 juta CCTV di Inggris. Ini artinya, tiap 14 penduduk Inggris diawasi 1 CCTV. Selain Inggris, negeri lain yang getol memasang CCTV adalah Amerika Serikat. Kepolisian negeri Paman Sama itu bahkan getol menjadikan rekaman CCTV menjadi barang bukti kejahatan. Tercatat, 49 persen laporan kejahatan yang dibuat kepolisian memasukkan rekaman CCTV sebagai bukti. Melansir data IHS, terdapat 245 juta CCTV yang terpasang di seluruh dunia. Meski Inggris dan Amerika Serikat merupakan negeri yang gemar memasang CCTV, Asia merupakan penyumbang terbesar CCTV di dunia. Diperkirakan, 65 persen dari total CCTV yang terpasang di seluruh dunia pada 2014, ada di Asia. Ini tak terlalu mengherankan. Beijing misalnya, memiliki 470 ribu CCTV yang mengawasi berbagai tempat di kota. Masifnya CCTV di dunia, gerak-gerik tiap manusia mudah terekam tanpa disadari atau tak disadari, tak terkecuali aksi para agen intelijen. Pada Oktober 2018, jurnalis asal Arab Saudi bernama Jamal Khashoggi hilang secara misterius di kantor Konsulat Arab Saudi di Turki. Yang unik, hilangnya Jamal juga diikuti hilangnya rekaman CCTV di kantor Konsulat itu. Otoritas Turki, sebagaimana diwartakan The Guardian, menyebut bahwa hilangnya rekaman tersebut dilakukan sebuah tim. Menghilangkan rekaman CCTV memudahkan dan menyembunyikan aksi tim yang menghilangkan keberadaan Jamal. Jamal, sebagaimana dikutip dari Vox, merupakan jurnalis yang getol mengkritik Pemerintah Arab Saudi dan meminta negeri tersebut mereformasi diri. Dawn Meyerriecks, deputi divisi sains dan teknologi CIA, sebagaimana dikutip dari CNN, menyebut agen intelijen Amerika Serikat membuat suatu algoritma komputer khusus beserta machine learning untuk kerja mata-mata yang dilakukan. Salah satunya fungsi algoritma+machine learning, untuk mengungkap di mana keberadaan titik buta area-area yang terpasang CCTV. Agen CIA pun kini diajari bagaimana lolos dan menghindari CCTV. Teknologi CCTV berguna bagi banyak orang, terutama untuk barang bukti dari setiap kejahatan, tapi tentu saja tidak bagi para agen mata-mata, khususnya yang sedang beroperasi di lapangan. Scott Stewart, VP Tactical Analysis Stratfor, firma analisis keamanan, mengatakan selain CCTV yang berbahaya bagi operasi intelijen, hampir semua bagian teknologi sama berbahayanya untuk keberhasilan operasi intelijen. Dalam tulisannya, Stewart menyebut kebocoran data dari US Office of Personnel Management (OPM) Computer System di kedubes Amerika Serikat di Beijing jadi kasus yang mesti dicermati. Kala itu, pada 29 September 2017, sistem komputer OPM diretas. Dampaknya, ada 22,1 juta data pegawai bocor. Meski detail tidak terbuka, dengan teknik tertentu, pihak lawan biasa mengetahui mana pegawai kedubes sungguhan dan mana pegawai kedubes yang hanya samaran atau mata-mata. Ini membuat, Pemerintah Amerika Serikat mesti merelokasi pegawai-pegawainya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: