Indonesia Lebih Pantas, Kenapa Google Facebook Bangun Pusat Data di Singapura?

Indonesia Lebih Pantas, Kenapa Google Facebook Bangun Pusat Data di Singapura?

Dalam laporannya, We Are Social, pada awal 2018 menyebutkan Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di dunia. Sampai Januari lalu jumlah pengguna Facebook asal Indonesia mencapai 130 juta akun. Secara persentase berkontribusi 6% dari keseluruhan pengguna. Sementara Kota Bekasi dan Jakarta menempati kota dengan akun Facebook teraktif di dunia di urutan ketiga dan keempat di dunia.

Angka ini sekaligus mencatat nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna Facebook terbanyak. Menyusul Indonesia, Filipina menempati urutan keenam dengan jumlah pengguna 67 juta akun. Lalu Vietnam dan Thailand di urutan tujuh dan delapan dengan jumlah pengguna masing-masing 55 juta dan 51 juta akun. Terkait data center, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19/2016 yang merupakan revisi dari UU No 11/2008. Sedangkan peraturan bawahannya yang menyangkut industri cloud adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 82 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Di sana disebutkan penyelenggara sistem elektronik harus menempatkan pusat data atau data center mereka di Indonesia. PP tersebut sudah lama direvisi oleh pemerintah, tapi belum juga ada realisasinya sampai sekarang. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (RPP PSTE), data yang dimiliki oleh sebuah instansi akan dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu, data strategis, data berisiko tinggi dan data berisiko rendah. Data risiko rendah dan tinggi boleh saja disimpan di cloud. Untuk data berisiko tinggi, syaratnya adalah ada data yang disimpan di dalam negeri. Hanya data strategis saja yang harus disimpan di dalam data center di Indonesia. Diketahui, ada lebih dari 2,5 miliar data yang dihasilkan manusia atas segala aktivitas digitalnya setiap hari. Kebutuhan segala hal yang terkait data pun meningkat. Amazon Web Service (AWS), layanan pusat data berbasis cloud milik Amazon, adalah contohnya. Pada 2013, AWS hanya menyumbang pendapatan sebesar $3,1 miliar pada perusahaan yang didirikan Jeff Bezos. Lima tahun berselang, pendapatan senilai $25,6 miliar disumbangkan AWS pada Amazon. Selain AWS, pihak yang kebagian durian runtuh atas semakin masifnya penggunaan dan produksi data oleh manusia ialah Singapura. Ia menjadi “rumah” bagi data center atau pusat data. Pada Agustus 2018, Google menyatakan membangun pusat data di Singapura setelah melakukannya di 2011 dan 2015. Sebagaimana dilansir The Straits Times, proses pembangunan pusat data itu ditaksir menelan biaya hingga $850 juta. Sebulan berselang, langkah Google diikuti Facebook. Raksasa media sosial tersebut mengumumkan akan membangun pusat data di wilayah Tanjong Kling, Singapura, dengan luas 170 ribu meter persegi. Pusat data yang akan dikerjakan oleh Fortis Construction itu diperkirakan menelan biaya lebih dari $1 miliar dan direncanakan mulai beroperasi pada 2022 mendatang. Termutakhir, pada bulan Februari ini, Digital Realty Trust dan Equinix, dua perusahaan penyedia pusat data terbesar dunia, mengungkap bahwa mereka akan membangun fasilitas pusat data di Singapura. Digital Realty Trust hendak membangun pusat data sebesar 370 ribu meter persegi, sementara Equinix sebesar 130 ribu meter persegi, di negeri singa itu. Singapura, negeri yang luasnya hanya lebih luas 60 km2 luas Jakarta, menjadi “ibu kota” pusat data digital dunia. Google, Amazon, Microsoft, IBM, Alibaba, dan Tencent, alias perusahaan-perusahaan top di ranah teknologi, memiliki pusat data di Singapura. Secara statistik, Singapura merupakan rumah terbesar ke-4 soal pusat data di Asia Pasifik. Dalam tataran Asia Tenggara, ia berada di puncak. Salah satu alasan utama mengapa Google membangun pusat data baru di Singapura ialah adanya kenaikan pengguna asal Asia Tenggara yang signifikan. “Sejak tiga tahun selepas Google melakukan update di Asia Tenggara [membangun pusat data pada 2015 di Singapura], lebih dari 70 juta pengguna baru asal Asia Tenggara online [dan menggunakan layanan Google] untuk pertama kali online,” kata Joe Kava, Vice President of Global Data Centres Google. Hal senada terjadi pada Facebook. Mereka membangun pusat data baru di Singapura kerana pesatnya pertumbuhan pengguna dari wilayah ini. Jika alasan itu yang dipakai, sesungguhnya Indonesia lebih pantas menjadi rumah bagi pusat data kedua perusahaan tersebut. Di kawasan Asia Tenggara, penyumbang terbesar pengguna internet ialah Indonesia. Pada platform Facebook, misalnya, Indonesia menyumbang 130 juta pengguna bagi media sosial itu. Di dunia, Indonesia ialah negara penyumbang pengguna internet terbesar ke-5, dengan 143 juta pengguna internet. Menurut laporan Forbes “Why Energy Is A Big And Rapidly Growing Problem For Data Centers,” pusat data bisnis sangat mahal, khususnya karena bisnis ini memerlukan energi listrik yang besar. Di Amerika Serikat, pusat data menelan listrik lebih dari 90 miliar kilowatt-hours (kWh) tiap tahun. Di seluruh dunia, pusat data mengkonsumsi 3 persen total listrik dunia. Dibandingkan negara Asia Tenggara lain, Indonesia termasuk yang paling murah soal listrik. Per kWh listrik di Indonesia ialah $0,8. Bandingkan misalnya dengan Singapura ($2), Filipina ($1,8), dan Thailand ($0,9). Lagi-lagi, Indonesia sebetulnya lebih pas dijadikan rumah bagi pusat data perusahaan teknologi, khususnya yang memiliki target pasar Asia Tenggara. Namun, kenapa Singapura yang dipilih?
Hingga hari ini, dalam percaturan infrastruktur internet, Singapura ialah “hub\" atau area tempat bertemunya perusahaan internet dengan para penggunanya di Asia Tenggara. Di sanalah pusat kabel internet bawah laut berada, menghubungkan kawasan Asia Tenggara dengan dunia. Namun, yang lebih penting, dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, sebagaimana diwartakan South China Morning Post (SCMP), Singapura memiliki undang-undang perlindungan data dan kekayaan intelektual yang kuat. Hal itu sangat berguna selepas Eropa meloloskan General Data Protection Regulation (GDPR). Selain itu, masih menurut laporan SCMP, negara Asia Tenggara lain punya aturan “aneh”. Mereka mewajibkan data warga disimpan di server yang berada di negaranya, tetapi membatasi transfer data lintas-negara. Bagi Google, Facebook, dan perusahaan internet umumnya, ini menyulitkan. Di dunia internet, batasan seperti batas teritorial negara hampir tak terlihat. “Lalu-lintas data lintas batas sangat penting untuk pengembangan ekonomi digital, yang dilihat oleh negara-negara secara global sebagai mesin pertumbuhan untuk PDB, perdagangan, penciptaan lapangan kerja, inovasi dan produktivitas, [mematikannya menghentikan keuntungan itu],” kata Jeff Paine, Managing Director Asia Internet Coalition, kelompok industri yang disokong Facebook, Amazon, Google, dan Apple. Alasan lain: Singapura ialah negeri yang memiliki visi digital. Pada 2018, misalnya, mereka membelanjakan uang senilai $22 miliar hanya untuk pembangunan infrastruktur teknologi. Visi digital Singapura terwujud dalam “Smart Nation,” rancangan Singapura yang akan fokus ke arah digital yang dibentuk oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada November 2014. Dengan visi ini, ada semacam jaminan bagi perusahaan-perusahaan untuk merasa aman dan nyaman berinvestasi di Singapura. Tak heran jika perusahaan-perusahaan digital (hendak) membangun pusat data di sana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: