Agus Suhartono Melenggang
JAKARTA - Laksamana TNI Agus Suhartono tidak menemui jalan terjal dalam menjalani fit and proper test calon Panglima TNI. Kepala Staf Angkatan Laut itu relatif tidak mendapatkan ujian berarti dari puluhan pertanyaan para anggota Komisi I DPR RI yang ditujukan kepadanya. Direkomendasikannya Agus sebagai Panglima TNI baru ke Paripurna dihasilkan melalui rapat internal Komisi I. Sementara proses fit and proper test dijalani mulai pukul 10.00 WIB hingga 21.00. Anggota Fraksi Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bahwa semua fraksi tanpa kecuali menyetujui Agus untuk menjadi Panglima TNI pengganti Djoko Santoso. “Tinggal pengesahan nanti,” kata Muzani usai rapat fit and proper test calon Panglima TNI di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (23/9). Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddik menyatakan, persetujuan Agus sebagai Panglima TNI akan diserahkan ke pimpinan. Selanjutnya, hasil rapat Komisi I itu dibawa di paripurna, Senin (27/9) mendatang. Pandangan rapat internal Komisi I akan menjadi pertimbangan seluruh anggota DPR dalam paripurna tersebut. “So far so good,” ujar Mahfudz yakin. Mahfudz menyatakan, persetujuan Panglima TNI baru itu tidak dengan cek kosong. Ada ruang penting yang menjadi tugas Panglima, dimana selalu mendapat warisan masalah dari Panglima sebelumnya. Kasus yang mengemuka diantaranya adalah masalah sengketa lahan dan inventarisasi aset. “Padahal masa jabatannya hanya tiga tahun (melihat usia Agus, red),” kata politisi PKS. Mahfudz menyatakan, tidak ada persoalan serius yang mengemuka dalam seleksi calon Panglima TNI. Hanya saja, Komisi I meminta agar Panglima TNI baru bisa menuntaskan masalah lama, agar bisa berkonsentrasi dalam reformasi TNI. “Ini harus menjadi komitmen bersama,” tandasnya. Fakta bahwa posisi Agus sebagai calon tunggal Panglima TNI, yang mendapat dukungan kuat dari Sekretariat Gabungan terlihat dalam seleksi tersebut. Hampir semua pertanyaan yang diajukan para anggota Komisi I DPR, bisa dijawab secara diplomatis oleh Agus. Bahkan proses fit and proper test itu juga diselingi canda tawa yang dimulai dari sejumlah anggota Komisi I. Sejumlah pertanyaan yang mengemuka adalah terkait pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI. Porsi anggaran untuk Kementrian Pertahanan dan TNI lebih dari Rp40 triliun. Namun, hanya Rp10 triliun yang dialokasikan untuk pengadaan Alutsista. “Apa yang bisa diharapkan dari anggaran per tahun, apa tidak sebaiknya Multiyears,” kata Yahya Sacawiria, anggota Fraksi Partai Demokrat yang juga mantan purnawirawan TNI. Anggota Fraksi Partai Golkar Tantowi Yahya menyoroti praktek bisnis TNI yang masih marak terjadi. Yang paling terlihat dalam bisnis lapangan udara yang melibatkan bisnis komersial dan militer. “Banyak yang komersial, berdekatan dgn militer, secara bisnis dikuasai TNI, bagaimana tanggapan Bapak,” kata Tantowi. Pertanyaan lain yang banyak bermunculan adalah terkait isu terorisme. Dalam penyampaian visi dan misi, Agus menyoroti ancaman faktual yang berupa gerakan terorisme. “Bagaimana supaya TNI juga tidak diremehkan oleh teroris, karena Alutsistanya minim,” kata anggota Fraksi PKS Sahfan Badri Sampurno. “Teroris ini sudah bersiap untuk menggulingkan negeri, apa tindakan Bapak,” kata Tri Tamtomo dari Fraksi PDIP. Pertanyaan terkait pengambilalihan aset TNI juga muncul dari sejumlah anggota DPR. Dalam paparannya, Agus menyatakan bahwa sasaran pembangunan pertahanan adalah peningkatan kemampuan pertahanan dan penciptaan situasi negara yang kondusif. Untuk mencapai itu, strategi yang dicapai adalah melalui pencapaian kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Forces). Konsep MEF ini, kata Agus dirancang berdasar kemampuan yang TNI harapkan mampu menanggulangi berbagai ancaman. “Konsep ini tidak minimum sama sekali,” kata pria kelahiran Blitar, 55 tahun lalu itu. Dalam hal struktur organisasi, Agus menilai bahwa TNI harus menjadi lembaga yang efisien. “Untuk mencapai MEF, kita harus lebih ramping,” ujarnya. Dia memprogramkan pelaksanaan validasi daftar personel TNI melalui metode Right Sizing. Strategi MEF itu juga perlu diterapkan dalam pengadaan Alutsista. “Karena dengan kemajuan teknologi, Alutsista harus lebih efisien,” jelasnya. Efisiensi yang dimaksud, adalah melalui keterpaduan aspek pengadaan Alutsista. Orientasi Alutsista TNI ke depan harus mencerminkan faktor keleluasaan. Alutsista yang dibutuhkan TNI juga harus mempertimbangkan faktor karakteristik geografi. Konsep MEF itu diharapkan cukup untuk pengamanan kedaulatan yang meliputi sejumlah titik perbatasan. Titik yang perlu diawasi secara khusus diantaranya Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Arafura, dan wilayah Kalimantan. Dengan posisi itu, Agus optimis ke depan porsi anggaran untuk pos Alutsista bisa bertambah. Dia menyatakan, ke depan alokasi belanja pegawai akan tetap. Kenaikan anggaran yang didapat setiap tahun bisa digunakan untuk pemeliharaan dan pengadaan alutsista. “Melalui MEF, pengeluaran belanja pegawai bisa lebih tetap,” ujarnya. Mantan Irjen Dephan itu menyatakan, nantinya TNI akan membangun konsep Integrated Military Surveillance System. Sistem itu akan melakukan patroli keamanan dengan menggunakan radar utk pengamanan laut dan udara. “TNI AU akan kembangkan pesawat tanpa awak utk pengawasan daerah rawan,” janjinya. Agus menegaskan, masalah terorisme adalah ancaman yang bersifat faktual. “Kami saat ini memiliki pasukan khusus untuk penindakann” ujarnya. Namun, penggunaannya tidak bisa sembarangan, karena tergantung keputusan politik dari DPR. Di tingkat selanjutnya, Agus menyatakan Kemhan saat ini tengah mengaggas unit khusus penanggulangan terorisme. Unit ini nantinya melibatkan TNI, Kepolisian, dan Badan Intelijen Negara dalam kerjanya. “Kepolisian nanti akan bertindak seperti FBI, TNI sebagai special forcenya, dan BIN selayaknya CIA di Amerika Serikat,” jelasnya. Terkait isu perbatasan, Agus mengusulkan dibentuknya suatu unit Cost Guard, sebagai pengganti kapal patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan. Cost Guard itu nantinya sebagai agensi yang menangani semua problem kelautan. “Dengan kewenangan TNI yang lebih luas, kapal Cost Guard itu bisa digunakan untuk berbagai keahlian,” ulasnya. Agus mengakui, pengambilalihan bisnis TNI masih perlu disempurnakan. Terkait bisnis di penerbangan komersial, Agus menyatakan bahwa proses itu selama ini bekerjasama dengan Kementrian Perhubungan. Proses fit and proper test calon panglima TNI dinilai tidak memiliki persiapan berarti. Pengamat Militer Pro Patria Hari Prihantono menyatakan, paparan yang disampaikan oleh Agus sebagai calon Panglima hanya bersifat normatif. Anggota DPR juga dinilai kurang dalam menggali sisi lain Agus di luar paparan visi dan misinya. “Seluruh pertanyaan disampaikan hanya berdasarkan paparan, dan kewajiban untuk bertanya,” kata Hari di gedung parlemen, Jakarta, kemarin. Menurut Hari, seharusnya ada fokus yang disampaikan oleh Agus. Dalam kapasitasnya sebagai KSAL, dirinya seharusnya menyampaikan renstra yang lebih spesifik. Apalagi, isu perbatasan selama ini menjadi masalah klasik hubungan Indonesia dengan negara tetangga. “Apa yg dia tawarkan. Strategi apa yang dilakukan untuk menutupi titik rawan. Berdasarkan itu apa resntra dia. Itu tidak muncul sama sekali,” kata Hari. Jalannya proses seleksi juga berlangsung membosankan. Hari menilai, seharusnya dalam sesi pandangan fraksi saja, proses fit and proper test bisa mendapatkan kesimpulan. Namun, proses itu akhirnya diperpanjang melalui sesi pendalaman, dengan materi yang tidak jauh berbeda. “Tidak ada jaminan bahwa publik akan mendapatkan safety dari Panglima TNI baru,” sorotnya. (bay)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: