Presiden Langgar Konstitusi
JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan kembali putusan uji materi atas pasal 22 ayat 1 huruf d Undang-Undang nomor 16/2004. Dia mengakui, MK memang tidak memerintahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memecat Jaksa Agung Hendarman Supandji. Namun, putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) tersebut memberi konsekuensi bahwa Hendarman bukanlah jaksa agung yang sah. “MK tidak memerintahkan Presiden memecat. Tapi, putusan itu memberi konsekuensi logis terhadap jabatan jaksa agung,” kata Mahfud saat ditemui di ruangannya di gedung MK kemarin (23/9). Lantas, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa dianggap melanggar konstitusi apabila tidak menaati putusan tersebut? Mahfud secara tidak langsung menyebut SBY telah melakukannya. “Saya bertanya. Kalau UU diundangkan dan dinyatakan berlaku, kalau Presiden tidak melaksanakan kan melanggar (UU) kan. Nah, putusan MK itu berlaku seperti halnya UU,” katanya. Mahfud juga menanggapi komentar Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Sudi mengatakan bahwa dalam putusannya, MK tidak mengatakan Hendarman ilegal. Presiden juga disebut tidak melanggar konstitusi. Menurut Mahfud, semua yang dikatakan Sudi benar. Tapi, itu ketika MK belum memutus gugatan uji materi tersebut. Sudi dianggap telah memelintir putusan MK. “Apa yang disampaikan Mensesneg itu bagus, seluruhnya sesuai dengan MK. Tapi, belum seluruhnya dikutip, ada bagian-bagian yang sudah jelas berlaku sejak diucapkan dan mengikat tidak diikat. (Sudi) hanya mengutip presiden tidak melanggar konstitusi. Tapi, semua yang benar belum dimasukan. (Yakni) sampai kapan berlakunya dan itu bunyi putusan MK,” katanya. Mantan menteri pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu enggan memperpanjang perdebatan. Dia mempersilakan apapun tindakan Presiden terhadap putusan tersebut. “Kalau tidak mau dilaksanakan, silakan. Dilaksanakan, silakan. Karena hukum itu kalau tidak dilaksanakan dan tidak menimbulkan masalah, tidak ada yang menggugat dan dirugikan hak konstitusionalnya, tidak apa-apa,” katanya. Namun, dia mengingatkan jangan sampai keputusan, kebijakan, dan tindakan hukum Hendarman (pencekalan dan penetapan tersangka) digugat ke pengadilan gara-gara Hendarman dinyatakan tidak sah oleh MK. “Tapi, ketika dilaksanakan ada yang mengguggat hak konstitusional bisa berujung ke pengadilan, memangnya saya pikirin,” katanya. “Saya tidak rugi tidak dilaksanakan, tapi juga tidak untung kalau dilakanakan. Urusan sini (MK) hanya menetapkan saja,” imbuhnya. Terpisah, Mensesneg Sudi Silalahi kembali menegaskan pihak Istana hanya berpedoman pada amar putusan MK yang ia tafsirkan bahwa jabatan Hendarman tetap sah. “Yang jelas kita merujuk pada apa yang diputuskan MK. Baik yang dibacakan secara lisan, maupun yang tertulis dalam amar putusannya,” kata Sudi di kantornya, kemarin. Sudi tetap berpendapat dalam amar putusan MK yang tidak tertulis mengenai keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supandji. “Lebih jauh MK memutuskan Presiden tidak bisa dikatakan inkonstitusional, dan jabatan Jaksa Agung tidak bisa dikatakan ilegal,” katanya. Mantan Menseskab itu justru menuding mantan Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra, sebagai pihak yang mengajukan uji materi UU Kejaksaan, tidak konsisten. Sudi bercerita, Yusril lah yang membikin draf Keppres pengangkatan Hendarman sebagai Jaksa Agung. Dalam Keppres itu, kata Sudi, disebutkan bahwa jabatan Hendarman berakhir hingga ada Keppres pencabutan. “Jadi kalau beliau mengatakan seperti itu (jabatan jaksa agung tidak sah) sekarang, saya tidak mengerti, seorang profesor ahli hukum menyampaikan seperti begitu,” kata Sudi. Dia menambahkan, ketidakjelasan rumusan jabatan jaksa agung dalam UU Kejaksaan, juga juga merupakan salah satu produk yang dirancang oleh Yusril. “UU kejaksaan yang tidak jelas itu adalah produk saat beliau menjabat Menkumham, menteri kehakiman ketika itu,” katanya. Sementara itu, Yusril justru enteng menanggapi tudingan tersebut. Dia meminta Mensesneg dan Seskab legowo mengakui kesalahan dalam memahami Keppres 187/M tahun 2004 dan Keppres 31/P tahun 2007. Sehingga kemudian Hendarman tidak diberhentikan sebagai jaksa agung saat jabatan Presiden SBY berakhir pada periode pertama. “Apa yang disampaikan Pak Sudi itu ngawur saja. Bahwa (jabatan) Hendarman (sebagai jaksa agung) itu sudah berakhir masa jabatannya sejak 20 Oktober 2009, itu terang-benderang disebutkan dalam Keppres 187/M tahun 2004 dan Keppres 31/P tahun 2007,” ungkap pemeran Laksamana Cheng Ho dalam sebuah film di salah satu stasiun televisi itu dalam keterangan tertulisnya. Namun, menurut Yusril, pihak pemerintah seperti tidak mau mengakui kesalahan. Di antaranya seperti yang disampaikan Sudi dan Denny Indrayana, staf khusus presiden bidang hukum. Bahkan setelah MK menyatakan bahwa jabatan jaksa agung adalah sama dengan masa jabatan presiden. “Pak Sudi dan Denny masih tidak mau terima, bahkan bikin tafsiran sendiri yang aneh-aneh. Padahal, tafsir yang paling otoritatif atas putusan MK itu, ya yang dibuat oleh Ketua MK sendiri,” urai suami Rika Tolentiono Kato itu. Tidak diaturnya secara jelas masa jabatan jaksa agung dalam UU Kejaksaan, menurut Yusril, menunjukkan bahwa sama dengan presiden dan kabinetnya. “Karena pembuat undang-undang sudah sama-sama tahu kalau jaksa agung itu adalah pejabat setingkat menteri negara dan anggota kabinet,” terang Yusril. Di bagian lain, Hendarman Supandji kemarin tetap berkantor seperti biasa di Kejaksaan Agung. Dia tampak tiba di gedung utama Kejagung pukul 09.15. Dia berdalih, berdasarkan pasal 19 UU Kejaksaan, jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Artinya, Hendarman memilih menunggu petunjuk presiden. “Karena atasan saya adalah Bapak Presiden. Sekarang saya tinggal menunggu Keppres. Selama Keppres (pemberhentian) belum ada, saya kerja saja,” dalihnya. Dia menegaskan tidak akan mengambil keputusan mundur dari jabatan. “Saya tidak akan mundur,” tegasnya. Alasannya? “Saya nggak bermasalah. Kalau mundur, saya ada masalah,” katanya. Hendarman kemarin sempat menggelar rapim (rapat pimpinan) dengan wakil jaksa agung dan para jaksa agung muda. Dalam rapim, dia mengaku berdiskusi seputar permalahan putusan MK itu. Pihaknya tetap berpegang pada ketentuan pasal 19 UU Kejaksaan meski ada putusan MK terkait pasal 22. Mantan JAM Pidsus itu menegaskan tidak akan mengambil kebijakan strategis. “Saya dalam pekerjaan yang sifatnya mengurus, tetapi tidak memutus, tidak memberikan suatu keputusan,” terang Hendarman. Terkait rencana menjadikan Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai pelaksana tugas, menurut Hendarman, hal itu juga harus disertai dengan Keppres. Hendarman kemungkinan juga tidak akan hadir dalam RDP (rapat dengar pendapat) dengan Komisi III DPR, Senin (27/9) nanti. “Saya dalam posisi tidak bisa mengambil keputusan. Kalau dengan Komisi III DPR itu kan mengambil keputusan,” urai mantan ketua Timtastipikor itu. Wakil Jaksa Agung Darmono menambahkan, keputusan strategis yang tidak mendesak akan ditunda dulu hingga ada keputusan dari presiden. Namun sesuai dengan UU Kejaksaan, antara jaksa agung dan wakilnya merupakan satu kesatuan pimpinan. “Sehingga dalam hal tertentu apabila jaksa agung tidak ada di tempat, wakil jaksa agung secara otomatis menurut amanat undang-undang akan melaksanakan itu,” papar Darmono. Wakil Ketua DPR Pramono Anung menegaskan, putusan tersebut sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Sebagai garda terakhir dari konstitusi di Indonesia, semua lembaga negara termasuk Presiden harus taat dan patuh melaksanakannya. “Harusnya Presiden segera, bahkan bisa hari ini (kemarin, red), mengeluarkan surat pemberhentian Jaksa Agung,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Menurut dia, jika hal tersebut diperdebatkan kembali, justru menunjukkan ketidakpahaman dan ketidakpatuhan terhadap lembaga konstitusi. Termasuk, resiko kerancuan akibat kekosongan posisi tertinggi di institusi Kejaksaan. Polemik putusan MK itu, lanjut Pramono, menunjukkan adanya kelemahan administrasi di tubuh pemerintah. KArenannya, kedepan perlu ada pembenahan serius terhadap administrasi dibidang ketatanegaraan. “Ini baru pertama kali terjadi, ini jadi pengalaman yang berharga agar pemerintah tertib di bidang administrasi ketetangaraan dan hukum,” tandas mantan sekjen DPP PDI PErjuangan itu. Sementara itu, anggota Komisi III Bambang Soesatyo menyatakan, pihaknya bisa menerima argumentasi hukum tata negara Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pejabat Jaksa Agung dan posisi Hendarman Supandji. Menurut dia, legalitas Hendarman sebagai Jaksa Agung bermasalah akibat kelemahan dan keteledoran Mensesneg. Semestinya, kata Bambang, pada Oktober 2009 atau sesudahnya, Mensesneg langsung menyiapkan konsep surat pengangkatan Hendarman. Yaitu, setelah mengetahui bahwa presiden masih mempercayakan posisi Jaksa Agung pada yang bersangkutan. “Sehingga bisa ditandatangani bersama dengan para menteri KIB II lainnya,” kata politisi Partai Golkar tersebut. (aga/sof/fal/dyn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: