Jokowi Bertemu CEO Bukalapak Achmad Zaky

Jokowi Bertemu CEO Bukalapak Achmad Zaky

Presiden Joko Widodo bertemu dengan founder dan CEO Bukalapak Achmad Zaky di Istana Merdeka, Jakarta pada Sabtu (16/2/2019). Dalam pertemuan itu, Jokowi didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki. Sedangkan Zaky terlihat datang sendiri. Pertemuan tersebut berlangsung sekitar pukul 10.45 WIB, Sabtu pagi. Dalam video unggahan akun twitter Radio Elshinta, terlihat Jokowi berbicara serius dengan Zaky. Di pertemuan itu, percakapan berlangsung antara Jokowi dan Zaky. Pertemuan itu digelar tidak lama setelah satu twit Achmad Zaky bikin ramai media sosial dan bahkan memunculkan gerakan #UninstallBukalapak yang trending di Twitter. Pada 13 Februari 2019 pukul 22.25, CEO Bukalapak, Achmad Zaky, menulis di Twitternya, @achmadzaky: “Omong kosong industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini (2016, in USD): 1. US 511B; 2. China 451B; 3. Jepang 165B; 4. Jerman 118B; 5. Korea 91B; 11. Taiwan 33B; 14. Australia 23B; 24. Malaysia 10B; 25. Spore 10B; 43. Indonesia 2B. Mudah2an presiden baru bisa naikin.” Cuitan yang kini sudah dihapus tersebut ditanggapi sejumlah warganet dengan menyimpulkan bahwa Zaky ‘menyerang’ Joko Widodo. Diksi ‘presiden baru’ diartikan sebagai dukungan terhadap lawan Jokowi di Pilpres 2019: Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Cuitan ini memicu munculnya tagar di Twitter seperti #uninstallbukalapak dan #LupaBapak. Salah satu pengguna yang turut menggunakan tagar #uninstallbukalapak mempertanyakan data yang digunakan oleh Zaky. Ia menyebutkan data yang digunakan Zaky adalah data tahun 2013, bukan 2016. Dan berdasarkan data 2018, peringkat Indonesia sudah naik drastis. Berdasarkan penelusuran radarcirebon.com, data yang digunakan oleh Zaky berasal dari Wikipedia mengenai pengeluaran R&D per negara. Namun Zaky tidak mencantumkan sumber kutipan. Dia juga mengabaikan perbedaan tahun rujukan yang digunakan oleh Wikipedia. Ia menyebutkan angka yang digunakan berdasarkan data tahun 2016, padahal hanya empat dari 10 negara yang ia cantumkan menggunakan data tahun tersebut. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: