Azimut Terlanjur Hancur
Reporter:
Dedi Darmawan|
Editor:
Dedi Darmawan|
Selasa 28-09-2010,06:54 WIB
Polisi Diminta Lebih Serius Mengusut
CIREBON - Tuhan tidak akan mengubah sebuah keadaan, kecuali manusianya yang harus dan peduli akan perubahan. Hal tersebut diungkapkan oleh Drs Adang Juhandi, salah satu aktivis WTC saat melakukan talkshow di program Wewara Cerbon di RCTV pada Sabtu malam kemarin (25/9) dengan tema menyikapi persoalan bukit Azimut yang kini terus menjadi sorotan publik.
Menurutnya, kalau tidak ada perubahan sama sekali tentang pengusutan kasus perusakan lingkungan, maka tinggal menunggu kehancurannya. “Saya melihat tidak ada perkembangan yang cukup berarti, sudah banyak bukti bahwa di Azimut memiliki nilai sejarah, tapi tidak ada tindakan,” katanya.
Lanjut dia, selain sebagai pusat laboratorium alam, bukit Azimut memiliki aspek sejarah yang bisa dipelajari para generasi muda. Namun, dalih untuk pembangunan nasional dengan berdirinya tol Kanci-Pejagan, bukit tersebut hancur.
“Pembangunan tersebut tidak aspiratif, karena sistem kekuasaan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan ekosistem lingkungan, sehingga wilayah yang tidak termasuk dalam RTRW Galian C pun dikikis habis. Kita bisa lihat hanya beberapa pengusaha dan oknum pejabat yang diuntungkan oleh kerakusan ini,“ lanjut Adang.
Pihaknya mendesak kepada pemerintah Kabupaten Cirebon berikut aparat kepolisian untuk serius mengatasi persoalan Azimut. Untuk pemkab, agar secepatnya melakukan penghijauan kembali bukit yang sudah gundul dan gersang dengan melibatkan masyarakat.
Sementara, polisi diminta, segera memproses pihak-pihak yang terlibat dalam pengrusakan bukit tersebut. ”Kalau hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka kita tinggal menunggu bencana alam yang lebih besar,” katanya di depan para pemirsa setia RCTV.
Sementara itu, Upri Embeng Koordinator Petakala Grage yang mendampingi Drs Adang Juhandi mengatakan semenjak ada kegiatan ekploitasi tembang pasir dan tanah di bukit Azimut Desa Waledasem, Kecamatan Waled telah terjadi kerusakan lingkungan dan akibat kegiatan penambangan tersebut ditemukan beberapa bukti.
”Bentang alam alias topografi telah terjadi perubahan drastis sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada jenjang atau lereng tebing bekas penambangan. Kemudian, kenaikan air limpasan yang berpotensi menimbulkan erosi dan sedimentasi yang pada akhirnya terjadi banjir lumpur dan banjir bandang seperti yang sempat beberapa hari lalu,” katanya.
Selain itu, adanya galian tersebut mengakibatkan terganggunya sistem hidrologi yang menyebabkan aliran air permukaan tidak terkendali dan banyak menimbulkan lahan-lahan kritis dan berkurangnya daerah resapan air.
Bukan hanya kerusakan alam, dari penelusurannya dan beberapa kali disebutkan di berbagai media bahwa di bukit Azimut juga telah terjadi kerusakan cagar budaya. ”Peninggalan Kerajaan Purwasanggarung terancam hilang karena dirusak oleh aktivitas galian,” ungkapnya.
Berbagai habitat tanaman dan hewan liar pun khususnya yang dilindungi oleh PP No. 7 Tahun 1999 juga terganggu. ”Jadi apapun alasannya tidak dibenarkan untuk melakukan pengrusakan terhadap alam, karena berdasarkan kajian kami galian tersebut telah merusak ekosistem yang ada,” pungkasnya. (jun)
Polisi Diminta Lebih Serius Mengusut CIREBON - Tuhan tidak akan mengubah sebuah keadaan, kecuali manusianya yang harus dan peduli akan perubahan. Hal tersebut diungkapkan oleh Drs Adang Juhandi, salah satu aktivis WTC saat melakukan talkshow di program Wewara Cerbon di RCTV pada Sabtu malam kemarin (25/9) dengan tema menyikapi persoalan bukit Azimut yang kini terus menjadi sorotan publik.Menurutnya, kalau tidak ada perubahan sama sekali tentang pengusutan kasus perusakan lingkungan, maka tinggal menunggu kehancurannya. “Saya melihat tidak ada perkembangan yang cukup berarti, sudah banyak bukti bahwa di Azimut memiliki nilai sejarah, tapi tidak ada tindakan,” katanya.Lanjut dia, selain sebagai pusat laboratorium alam, bukit Azimut memiliki aspek sejarah yang bisa dipelajari para generasi muda. Namun, dalih untuk pembangunan nasional dengan berdirinya tol Kanci-Pejagan, bukit tersebut hancur.“Pembangunan tersebut tidak aspiratif, karena sistem kekuasaan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan ekosistem lingkungan, sehingga wilayah yang tidak termasuk dalam RTRW Galian C pun dikikis habis. Kita bisa lihat hanya beberapa pengusaha dan oknum pejabat yang diuntungkan oleh kerakusan ini,“ lanjut Adang.Pihaknya mendesak kepada pemerintah Kabupaten Cirebon berikut aparat kepolisian untuk serius mengatasi persoalan Azimut. Untuk pemkab, agar secepatnya melakukan penghijauan kembali bukit yang sudah gundul dan gersang dengan melibatkan masyarakat. Sementara, polisi diminta, segera memproses pihak-pihak yang terlibat dalam pengrusakan bukit tersebut. ”Kalau hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka kita tinggal menunggu bencana alam yang lebih besar,” katanya di depan para pemirsa setia RCTV.Sementara itu, Upri Embeng Koordinator Petakala Grage yang mendampingi Drs Adang Juhandi mengatakan semenjak ada kegiatan ekploitasi tembang pasir dan tanah di bukit Azimut Desa Waledasem, Kecamatan Waled telah terjadi kerusakan lingkungan dan akibat kegiatan penambangan tersebut ditemukan beberapa bukti. ”Bentang alam alias topografi telah terjadi perubahan drastis sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada jenjang atau lereng tebing bekas penambangan. Kemudian, kenaikan air limpasan yang berpotensi menimbulkan erosi dan sedimentasi yang pada akhirnya terjadi banjir lumpur dan banjir bandang seperti yang sempat beberapa hari lalu,” katanya.Selain itu, adanya galian tersebut mengakibatkan terganggunya sistem hidrologi yang menyebabkan aliran air permukaan tidak terkendali dan banyak menimbulkan lahan-lahan kritis dan berkurangnya daerah resapan air.Bukan hanya kerusakan alam, dari penelusurannya dan beberapa kali disebutkan di berbagai media bahwa di bukit Azimut juga telah terjadi kerusakan cagar budaya. ”Peninggalan Kerajaan Purwasanggarung terancam hilang karena dirusak oleh aktivitas galian,” ungkapnya.Berbagai habitat tanaman dan hewan liar pun khususnya yang dilindungi oleh PP No. 7 Tahun 1999 juga terganggu. ”Jadi apapun alasannya tidak dibenarkan untuk melakukan pengrusakan terhadap alam, karena berdasarkan kajian kami galian tersebut telah merusak ekosistem yang ada,” pungkasnya.
(jun)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: