Nama Jalan di Kota Cirebon Banyak Versi
Kota Cirebon sudah lama dikenal dengan budayanya yang sangat kuat. Bahkan, nama-nama jalan di kota ini memiliki asal-usul tersendiri. Memang banyak versi berkembang, perjalanan Putra Prabu Siliwangi, Walangsungsang saat melakukan Babad Yaksa menjadi salahsatu asal muasal penamaan sejumlah daerah di wilayah Cirebon. BEBERAPA versi soal penamaan sejumlah daerah di Cirebon di antaranta adalah Sejarah Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Tanah Sunda (BTS) memiliki perbedaan satu sama lainnya. Namun, perbedaan ini adalah sebuah kekayaan tersendiri bagi gerage (negeri gede), sebutan Cirebon dari naskah CPCN. Dalam buku Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta), Pembumian Islam dengan pendekatan struktural dan kultural yang ditulis Dr H Dadan Wildan MHum, di dalamnya juga memuat cerita di balik penamaan tempat-tempat di Cirebon. Sejarah Cirebon jilid kedua menguraikan panjang lebar tentang asal-usul sebuah tempat terutama Lemahwungkuk, Panjunan, Pasayangan, Pekarungan, Gunungsari, Dukuh Semar, Kebon Pring, Pekalangan, Pandesan, Parujakan, Anjatan, Pulasaren dan Jagasatru. Cerita itu bermula ketika Walangsungsang alias Somadullah berpamitan menuju arah selatan dari Gunung Jati. Hari itu adalah hari Sabtu. Walangsungsang sampai di tempat yang sunyi dan tidak ada seorang pun kecuali seorang lelaki yang sudah sangat tua bernama Ki Pangalang-alang. Sesampainya di tempat itu, Walangsungsang mengucapkan kalimat lamma waqo’tu atau saya telah tiba. Karenanya tempat itu dinamakan Lemahwungkuk. Usai sembahyang, Walangsungsang keluar dari rumah untuk memulai pekerjaan. Ia melihat banyak pohon besar, bahkan ada yang tingginya 500 meter, dengan rajin dia membuka hutan belukar, menebang pepohonan menuju arah utara Lemahwungkuk. Hingga dia tiba di suatu tempat yang banyak binatang buas, lalu ia membaca doa agar terhindar dari celaka. Setelah selamat dari gangguan, ia berucap fa anjaena yang artinya aku telah selamat. Oleh karena itu tempat itu dinamakan Panjunan. Perjalanan berikutnya, Walangsungsang berjalan ke arah barat sampai ia merasa kebingungan dan tidak tahu jalan. Ia kembali membaca doa dan nampaklah jalan, dan ketika itu dia berucap fasyalamuna artinya mengetahuilah. Tempat ini kemudian dinamai Pasayangan. Perjalanan Walangsungsang kemudian berlanjut ke daerah yang menjadi cikal bakal Pekarungan. Asal kata Pekarungan sendiri adalah fakkarnaa, kata yang diucapkan Walangsungsang saat merasa bimbang akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Perjalanan berlanjut dan Walangsungsang pun merasa senang, tempat itu kemudian dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar dari ucapan Walangsungsang qooma sirri jami’an samarin. Dari perjalanan Walangsungsang itu beberapa daerah memiliki cikal bakal nama seperti Parujakan yang asal katanya farjanaa, Pekalangan yang juga berasal dari ucapan Walangsungsang yaitu fachlonaa (aku terlupa pikiran), Pandesan yang berasal dari fahandasnaa (aku dapat petunjuk), rokibuna rumatallahi farihin yang menjadi cikal bakal Kebon Pring, faroaetu aajataini (aku melihat dua tanda) yang kini daerahnya disebut Anjatan. Perjalanan Walangsungsang menuju arah selatan juga menjadi cikal bakal nama daerah seperti Pulasaren yang berasal dari falaa sasarenaa (aku tidak terus berjalan). Cerita legenda tersebut terutama pada asal mula Panjunan berbeda dengan Babad Tanah Sunda, ceritanya berawal dari Negeri Baghdad, dimana Sultan Maulana Sulaeman tidak tentram lantaran anak-anaknya tidak mengindahkan aturan agama. Ketiga anaknya kemudian dikirim ke Cirebon untuk berguru pada Syekh Nurjati atas saran Syekh Juned. Ketiga anak Sultan Maulana Sulaeman, Syarif Abdurrahman, Syarif Kafi dan Syarifah Baghdad kemudian berguru pada Syekh Nurjati. Singkat cerita, Syarif Abdurrahman menjadi ayunaning orang (pemimpin masyarakat) yang bekerja membuat keramik dari tanah liat. Kemudian ia disebut Pangeran Panjunan. Karenanya pemakamannya pun disebut Dukuh Panjunan pada 1464. Berdasarkan Babad Tanah Sunda, ada beberapa daerah lain yang memiliki cerita legenda seperti Kejaksan, Kapetakan, Gunung Ciremai dan Pakungwati. Salahsatunya nama Kejaksan yang diambil dari nama jabatan Syarif Abdurrahim ketika tinggal di Cirebon. Saat itu Syarif Abdurrahim menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama dan disebut Pangeran Kejaksan. Keraton Kanoman punya catatan tersendiri untuk legenda nama-nama jalan ini. Catatan Budayawan TD Sujana yang didokumentasikan dalam pustaka Keraton Kanoman juga menceritakan asal mula 54 daerah di wilayah Cirebon. Sumber topo nimi yang dibuat TD Sujana, adalah Babad Cirebon. Dari sekian banyak legenda nama jalan tersebut, hanya akan dibahas beberapa di tulisan ini terutama yang memiliki perbedaan versi dengan perjalanan Walangsungsang yang ditulis dalam naskah Sejarah Cirebon. Misalnya Pulasaren yang dalam tulisan TD Sujana penamaan tersebut dikarenakan ada sebuah rumah milik Pangeran Pulasaren. Kemudian Lemahwungkuk yang menurut TD Sujana dinamakan demikian karena tanah di kawasan itu yang memang paling tinggi dari seluruh dataran Kota Cirebon. Sunan Kalijaga waktu itu datang ke Cirebon untuk berguru pada Sunan Gunung Jati, setelah berhari-hari menunggu kemudian dia tertidur dalam keadaan duduk membungkuk. Inilah asal-usul Lemahwungkuk. Sedangkan Pekalangan, menurut catatan TD Sujana, berasal dari salahsatu rumah milik Ki Gedheng Pekalangan yang juga berfungsi untuk memelihara Ki Pedati Gedhe. Untuk kawasan Karanggetas, nama ini berasal dari kondisi tanah yang bila musim kemarau kekeringan tetapi pada musim hujan tanahnya gembur. Untuk Panjunan, dalam catatan TD Sujana penamaan tempat didasarkan pada Pangeran Panjunan yang saat itu tinggal di kawasan tersebut. Juru Bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina ST, mengatakan, perbedaan-perbedaan cerita legenda soal penamaan tempat di wilayah Cirebon memang menghadirkan kesulitan tersendiri dalam melakukan inventarisasi. Tetapi, perbedaan-perbedaan tersebut menjadi salahsatu ciri bahwa Cirebon adalah daerah dengan latar belakang budaya yang sangat kuat. “Ini salahsatu bukti kekuatan budaya dan latar belakang sejarah yang dimiliki Cirebon,” ujar dia, saat ditemui wartawan koran ini di kediamannya di komplek Keraton Kanoman. Menurut Arimbi, masing-masing versi memiliki latar belakang sendiri soal penamaan sebuah tempat. Misalnya penamaan Panjunan yang dasarnya adalah tempat tinggal Pangeran Panjunan atau Kejaksan yang merupakan jabatan Jaksa yang diemban Pangeran Kejaksan. Namun, Arimbi sekali lagi menegaskan, penamaan tempat yang memiliki latar belakang cerita legenda adalah bukti bahwa Kota Cirebon adalah kota yang memiliki akar budaya yang sangat kuat. Saat ini, Keraton Kanoman terus melakukan inventarisir terhadap naskah-naskah kuno dan melakukan pengarsipan, baik secara manual dan digital. Salahsatu sumbangan masyarakat yang sudah di pustaka-kan oleh keraton adalah tulisan topo nimi TD Sujana yang di dalamnya juga banyak memuat cerita di balik penamaan nama-nama daerah di wilayah Cirebon. Beberapa daerah memang sudah mengalami perubahan nama, misalnya Jl Nyi Mas Gandasari yang hingga kini tetap lekang dalam ingatan masyarakat yang terus menyebut kawasan ini adalah Jl Parujakan. (yuda sanjaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: