Cirebon Awal Penumpasan PKI
Merah Putih Berkibar di Leebrinck, Setelah Sempat Dikuasai Laskar Merah Versi sejarah umum menyebut Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965. Diterangkan pula, sebelum tahun itu beberapa upaya pemberontakan dilancarkan anggota PKI. Peristiwa 1948 oleh PKI pimpinan Muso di Madiun boleh jadi paling dikenal. Dua tahun sebelum itu, tepatnya 12-14 Februari 1946, terjadi pertempuran besar antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan Laskar Merah (PKI). Bahkan, saat itu Kota Cirebon sempat dikuasai Laskar Merah selama beberapa waktu. Saksi yang merupakan pelaku sejarah rata-rata sudah berusia sepuh. Literatur pendukung pun awalnya sulit ditemukan. Beruntung, Perpustakaan Korem 063 Sunan Gunung Jati masih menyimpan edisi ketiga buku Siliwangi Dari Masa ke Masa. Dalam buku itu, gamblang tertulis kronologinya, termasuk tempat-tempat yang menjadi lokasi pertempuran. Menurut buku Siliwangi Dari Masa ke Masa, pemberontakan PKI-Mr Yusuf di Kota Cirebon tercium sejak adanya kabar bahwa PKI berniat melakukan konferensi di Gedung Bioskop Rex Cirebon. Menjelang hari konferensinya itu, Laskar Merah yang pada waktu itu persenjataannya lebih lengkap daripada Tentara Rakyat Indonesia (TRI) setempat, mulai merajalela di dalam Kota Cirebon. Cara mereka saling menghormat atau memberi salam ialah dengan mengangkat tangan kiri dikepalkan serta menyerukan “Hidup Sovyet”. Menurut buku itu, cara mengucap salam antara Laskar Merah dengan salam nasional masyarakat saat itu sangat berbeda. Masyarakat saat itu, pada umumnya mengucap salam dengan tangan kanan yang diangkat sembari dikepalkan serta menyerukan “Merdeka!”. Tindakan ini semakin memuncak ketika rombongan PKI dan Laskar Merah di bawah pimpinan Mr Yusuf yang datang menggunakan kereta api dari arah Surabaya, sebanyak 10 formasi tiba di Stasiun Kejaksan Cirebon. Rombongan ini mulai memicu ketegangan dengan dalih bahwa Polisi Tentara dan TRI Kereta Api hendak melucuti senjata mereka yang terdiri dari senjata ringan termasuk senapan mesin. Padahal kemudian rombongan Laskar Merah ini yang melucuti senjata para petugas di stasiun tersebut. Komandan Polisi Tentara yang mendengar peristiwa itu, segera mengutus seorang perwiranya, Letnan II D Sudarsono ke markas Laskar Merah yang lokasinya berada di depan Balaikota Cirebon (sekarang kantor DPRD). Kedatangan utusan Polisi Tentara itu adalah untuk meminta penjelasan soal insiden yang baru saja terjadi. Tapi, menurut buku ini, utusan Polisi Tentara itu malah mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya. Sehingga Letnan Sudarsono kemudian menuju Stasiun Kejaksan. Belum sampai di stasiun, tepatnya di tikungan Jl Siliwangi menuju stasiun, perwira Polisi Tentara itu malah disuruh turun dari kendaraan yang ditumpanginya oleh kelompok orang bersenjata di bawah pimpinan Mr Yusuf. Senjata Sudarsono pun dilucuti. Usai terjadinya peristiwa itu, Sudarsono lantas menuju stasiun untuk memperoleh informasi akurat, terutama penjelasan dari petugas Polisi Tentara yang berada di stasiun yang bernama Sersan Wasji, Komandan Regu Sersan Kusnan dan Kopral Ihsan. Keterangan yang didapat tiga orang perwira itu menyebutkan, bahwa mereka dituduh hendak melucuti senjata-senjata Laskar Merah. Padahal, bila melihat perimbangan kekuatan senjata ketika itu, sangat timpang. Rombongan Laskar Merah itu menggunakan senjata yang lebih lengkap dari Polisi Tentara. Sudarsono pun memastikan bahwa isu pelucutan senjata itu hanya ulah Laskar Merah. Singkat cerita, tiga Polisi Tentara dan Letnan Sudarsono digiring ke Markas Batayon Polisi Tentara, dimana Laskar Merah itu melucuti senjata dan menawan anggota-anggota Polisi Tentara itu. Peristiwa ditawannya para anggota Polisi Tentara tersebut dipimpin langsung Mr Yusuf dengan membawa bendera merah berlambang palu arit berwarna kuning serta ber-halsduk merah. Pada masa itu, di Cirebon terdapat suatu patroli gabungan yang terdiri atas satuan-satuan seperti Polisi Tentara, TRI Laut dan Polisi Negara. Satuan patroli gabungan ini diberi nama Pasukan Keamanan Kota. Akan tetapi pasukan ini minim persenjataan, bahkan kekurangan. Sehingga tidak mampu untuk menghadapi Laskar Merah yang persenjataannya lebih lengkap. Para anggota Laskar Merah serta PKI yang akan menghelat konferensi itu menempati penginapan-penginapan. Sedangkan sebagai markas besarnya mereka menggunakan Hotel Leebrinck (Grand Hotel). Saat ini hotel itu sudah tinggal reruntuhan dan yang tersisa hanya puing-puingnya saja. Lokasinya berada di samping SMPN 2 Kota Cirebon, Jl Siliwangi. Merasa berhasil menguasi kota, Laskar Merah kemudian dikabarkan akan melakukan serangan umum terhadap kedudukan TRI di Cirebon. Rencananya, penyerbuan ini akan dilakukan pada 13 Februari 1946. Penyerbuaan ini dilakukan saat subuh, mirip operasi serangan fajar. Resimen TRI Cirebon di bawah pimpinan Mufreini berusaha mencegah terjadinya serangan tersebut. Tanggal 12 Februari 1946, TRI mengerahkan seluruh persenjataan yang dimiliki untuk mengepung markas PKI dan Laskar Merah di Hotel Leebrinck. Pertempuran pertama itu berlangsung tidak imbang. Resimen TRI memilih mundur. Melihat kekalahan resimen TRI, bantuan pun datang mengalir dari Tegal, Pekalongan, bahkan dari Militer Akademi Tangerang. Usai konsolidasi ulang, 14 Februari 1946, yang saat itu bertepatan dengan tradisi Panjang Jimat, 12 Maulud 878, penyerangan dilakukan kembali ke Hotel Leebrinck. Pertempuran sengit juga terjadi di Kejaksan dan di dua tempat di kawasan Cangkol. Pertempuran panjang pun akhirnya dimenangkan Resimen TRI Cirebon. Sebagai penandanya saat itu, markas PKI dan Laskar Merah (Hotel Leebrinck) mengibarkan bendera merah putih. Mr Yusuf pun ditangkap hidup-hidup. Selanjutnya, Mr Yusuf pun diadili di Pengadilan Tentara di bawah pimpinan Mayor Rivai yang kemudian menjatuhkan vonis empat tahun penjara untuk para pemberontak itu. Kepala Penerangan Korem 063 Sunan Gunung Jati, Mayor Inf Nono Hartono, mengakui, keberadan buku Siliwangi dari Masa ke Masa memang jarang diketahui. Sehingga wajar bila banyak masyarakat yang tidak tahu dengan adanya peristiwa besar tersebut. Bahkan, anggota korem sendiri termasuk dirinya mengetahui adanya peristiwa itu dari buku edisi ketiga yang dibuat untuk periode 1946-1949. “Memang waktu itu di Cirebon belum bentuknya Korem seperti sekarang ini. Tapi masih berbentuk resimen. Resimen TRI Cirebon adalah salahsatu dari 13 resimen yang ada di Jawa Barat dan berpusat di Komandemen I, Purwakarta,” urainya, saat ditemui di ruang kerjanya. Terpisah, penulis kenamaan Cirebon, Dadang Kusnandar, dalam blog-nya da2ngkusnandar.blogspot.com menuliskan mengenai beberapa penggalan peristiwa tersebut, termasuk mengenai penyebab masuknya PKI dan Laskar Merah untuk kemudian memberontak. Menurut dia, kondisi sosial politik di Cirebon pada awal revolusi tidak stabil. Hal ini karena adanya pertentangan antara golongan moderat dengan golongan revolusioner, mengenai cara untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan. Situasi yang demikian dimanfaatkan oleh PKI untuk menguasai kondisi politik dalam rangka persiapan rencana pemberontakan. PKI, melalui pimpinan Mr Jusuf berusaha menarik simpati rakyat Cirebon dan menyadari bahwa untuk melakukan pemberontakan belum kuat. Oleh karena itu, didatangkanlah Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan dalih menghadiri konferensi dengan tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat. (yuda sanjaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: