Perjuangan dan Pemilu

Perjuangan dan Pemilu

PERJUANGAN adalah satu bentuk narasi besar dari arti yang sesungguhnya yakni melawan ketidakpuasan. Tanpa didasari rasa ketidakpuasan maka tidak akan muncul niat atau ghirah untuk berjuang. Seorang yang sedari kecil merasakan hidup dalam garis kemiskinan tentu akan berjuang. Perjuangan itu dia lakukan sebab dia tidak puas pada banyak hal yang dilaluinya yang dirasa tidak sama dengan orang lain. Perjuangan yang dilakukannya tentu adalah perjuangan untuk mengubah nasib hidupnya dari tidak sejahtera menuju sejahtera. Setiap hari dia belajar. Mencari cara dan membaca tentang bagaimana orang bisa memperoleh kesuksesan. Hingga pada akhirnya keyakinan yang ditanamkan dalam hatinya bertemu dengan peristiwa. Akan tetapi perjuangan tidaklah selalu menemui hasil. Perjuangan kadang harus terhenti ketika memang segala hal yang telah diupayakan ternyata berkata lain. Pada titik itulah, pada titik ketika perjuangan menemui persimpangannya, maka yang mesti diuji adalah kedewasaan dalam bersikap. Sebab, perjuangan kadangkala berubah menjadi ambisi yang membutakan mata dan menghalalkan segala cara yang terkadang harus melukai orang lain. PEMILU Dalam proses yang lebih besar, atau dalam konteks mengubah keadaan negara, perjuangan pun dilakukan. Ketidakpuasan akan kondisi serta kebijakan adalah pemicu perjuangannya. Sarana dan prasarana perjuangan itu difasilitasi negara yang berhaluan demokratis dengan mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk di Indonesia. Setiap orang diberikan kesempatan. Diberikan ruang untuk dapat turut merumuskan kebijakan agar apa yang diharapkannya dapat terealisasi. Tugas perjuangan tersebut adalah meyakinkan banyak pihak untuk mendukung gagasannya dan memilihnya dalam Pemilu. Mereka yang disetujui dan diterima dengan suara terbanyak tentunya akan memperoleh kesempatan berjuang lebih besar. Dipilih menjadi anggota DPRD, DPD, DPRI, Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Bupati, Gubernur/Wakil Gubernur, hingga Presiden/Wakil Presiden. Keberadaannya dalam posisi tersebut tentunya mampu membuat ide serta gagasannya lebih mudah diimplementasikan. Pada proses perjuangan Pemilu ini tentunya muncul pula hal-hal yang tidak selalu memberikan kepuasan. Sebab itu, negara memberikan kesempatan melalui upaya hukum agar ketidakpuasan pihak-pihak yang dikalahkan karena sesuatu hal bisa diperjuangkan kembali. Di Indonesia sendiri mekanisme atas ketidakpuasan Pemilu tersebut, atau dalam hal penegakan hukum Pemilu, terdiri dari dua hal. Pertama adalah penegakan hukum Pemilu terkait dengan pelanggaran Pemilu. Pelanggaran Pemilu ini terdiri pelanggaran administrasi, pelanggaran yang bersifat pidana, dan pelanggaran atas kode etik penyelenggara Pemilu. Kedua, terkait dengan hasil dan sengketanya, penegakan hukum Pemilu atas hasil dan sengketa dalam proses Pemilu. Penegakan hukum Pemilu ini diatur oleh beberapa aturan, salah satunya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Itulah mekanisme perjuangan dalam Pemilu. Di luar itu, diperbolehkan melakukan hal lain seperti menyuarakan di depan umum. Hal ini pun dilindungi Undang-Undang Dasar Negara 1945, tepatnya Pasal 28. Di mana disebutkan bahwa setiap warga negara dijamin “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dengan ditetapkan dengan undang-undang”. PEOPLE POWER Baru-baru ini muncul satu kehendak perjuangan baru yang dikemas dalam tema people power. People power tersebut kemudian berubah istilah menjadi gerakan kedaulatan rakyat. Tuntutan gerakan itu dilakukan tidak lain untuk melawan ketidakpuasan terhadap Pemilu dengan harapan mengubah hasil pemilu di luar mekanisme yang berlaku. Gerakan ini bisa memberikan kebaikan selama dalam koridor yang sesuai dan pas. Artinya, gerakan ini, dengan perlindungan Pasal 28 UUD 1945, bisa diupayakan untuk memengaruhi opini, sehingga mampu memberikan pertimbangan kepada pemilik kebijakan agar perubahan itu terjadi secara konstitusional. Gerakan ini bisa disebut pula gerakan kesadaran politik yang memperkuat fungsi executive power, judicial power, dan legislative power, agar matang dan mampu saling mengoreksi secara objektif tanpa dipengaruhi nuansa abuse of power. Akan tetapi gerakan ini juga bisa berubah menjadi suatu gerakan yang di luar kontrol. Terlebih ketika ditundangi kepentingan lain, apabila tidak dikondisikan dengan baik. Benturan antara masyarakat dengan masyarakat beserta dengan perangkat negara yang justru berakhir pada konflik horizontal adalah akibatnya. Alih-alih dapat terjadi pemakzulan (impeachment) yang konstitusional malah yang timbul justru pergantian kepemimpinan dengan kudeta paksa. Sesuai dengan paragraf-paragraf pada pendahuluan, perjuangan diperbolehkan dalam hal apa pun termasuk Pemilu. Perjuangan adalah upaya untuk mengubah hal-hal yang tidak memuaskan. Yang perlu dicatat, adanya ketidakpuasan bukan berarti semua tindakan yang dilakukan untuk memenuhinya tersebut kemudian dianggap benar. Perjuangan harus patuh pada batas-batas yang telah ditentukan dan harus disikapi secara dewasa. Perjuangan harus dapat melihat kemaslahatan, seperti memilih persatuan misalnya, yang lebih besar dari sekadar memuaskan hasrat pribadi. (*) *Penulis adalah praktisi hukum

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: