Disergap Pakai Bambu Runcing
TAK banyak yang tahu peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanggal 12-14 Februari 1946 yang didalangi Mr Yusuf di Kota Cirebon. Terutama generasi yang lahir paska tahun 1960-an. Padahal, pada 12-14 Februari 1946, di Cirebon pernah terjadi gesekan frontal antara PKI dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kala itu berlabel Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sekitar 50-an pasukan TKR terkonsentrasi di alun-alun Kejaksan Kota Cirebon. Fajar belum lagi merekah, saat mereka berkumpul. Berdatangan dari pos-pos keamanan, di antaranya dari daerah Arjawinangun dan Kesambi. Semangat profetik (kenabian, red), tampak menyemangati sebagian besar anggota pasukan berdarah muda itu. Maklum, hari dimana mereka akan uji nyali mengangkat senjata adalah hari lahir Nabi Muhammad SAW. Dan malam harinya, bagi tradisi masyarakat Cirebon diperingati dengan syukuran muludan. “Saat itu saya ingat tanggal 12 Rabiul Awal,” kata salahseorang anggota TKR (pelaku sejarah), Maming Rasmin (82). Masih hangat matahari pagi, pasukan pun segera menyebar. Sebagian langsung menuju depan Hotel Leebrinck di jalan Siliwangi. Sementara lainnya memutar lewat jalan Pancuran, dan ada yang bergerak ke jalan arah stasiun untuk menyusup lewat gang Tanda Barat. Strategi pengepungan berjalan sesuai rencana. Semua dalam satu misi: Menyergap kelompok PKI pimpinan Mr Yusuf yang menjadikan Hotel Leebrinck sebagai sarang. Sambil beberapa kali mengernyitkan kening, bahkan memejamkan mata dengan tangan ditempelkan di kening laksana patung The Thinker karya pematung Perancis Auguste Rodin, Rasmin berupaya melanjutkan kisah nyata yang dilakoninya 54 tahun lalu. “Saya hanya bermodalkan bambu runcing. Sebagian kawan termasuk pimpinan regu memang ada yang bawa senjata api, tapi masih terbatas sekali waktu itu,” ujarnya kepada Radar, Rabu (29/9), di kediaman daerah Lemahabang, Sindang Laut, Kabupaten Cirebon. Suasana memang mencekam walau dinaungi langit cerah waktu itu, lanjut Rasmin. Masih belum bersenjatakan lengkap dan berpakaian resmi laksana tentara sebuah negara, tiap anggota merasakan jantung mereka berdegup kencang dan keringat bercucuran jelang detik-detik operasi. Kemudian, pasukan pun bergerak dari segala titik. Mengendap, merunduk, sambil berlari kecil dan napas tersengal menghadapi kemungkinan baku tembak berlangsung. Tak lebih dari pukul 09.00, pasukan TKR berhasil merangsek masuk ke Leebrinck. Di luar dugaan, Mr Yusuf beserta anggotanya dengan mudah disergap. Rasmin membeberkan di hotel itu ditemukan sejumlah senjata, yang sepertinya belum sempat digunakan kelompok PKI untuk memberikan perlawanan. “Itu penyergapan tanpa perlawanan,” tutur lelaki kelahiran Cirebon, 14 Agustus 1928, yang mengaku baru pada 1945 bergabung dengan TKR sebelum akhirnya berdinas di Brimob dan pensiun dari Polri pada 1977. Rasmin yang kini dikaruniai 23 cucu dari 8 anak, dan telah memiliki 6 cicit, tak menyebut pasti alasan penyergapan itu terkait apa. Ia hanya mengetahui bila M Yusuf berasal dari Indramayu, namun tak terlalu paham sepak terjangnya. Hotel Leebrinck sendiri di kemudian waktu berganti nama menjadi Grand Hotel. Salahsatu hotel terbaik yang ada di Cirebon pada eranya. Lalu, hotel yang berseberangan dengan SMPN 1 Kota Cirebon tersebut antara 1999-2000 mulai berhenti beroperasi. Sampai akhirnya bangunan hotel diratakan dengan tanah. Saat ini lokasi bekas hotel berdiri masih ada. Tepat di sebelah alun-alun Kejaksan. Sisa tiang bangunan hotel yang masih tegak dalam kemeranaan, jadi saksi bisu bagaimana konflik horizontal sesama anak bangsa terjadi. (ron)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: