Mengungkap Jejak Kriyan dalam Mitos Siluman Buaya Putih

Mengungkap Jejak Kriyan dalam Mitos Siluman Buaya Putih

PERNAHKAH Anda membayangkan bagaimana melacak sejarah sungai Kriyan, sosok Siluman Buaya Putih di antara Sungai Kriyan dan Situs Lawang Sanga, melalui sebuah mitos? Jika dilihat sekilas mungkin Anda berpikir sulit mendapatkan data valid dari mitos. Jika merunut catatan sejarah sendiri, Cirebon, secara teritorial geografis terletak di tepian pantai utara Jawa (Pantura), yang dilengkapi dengan sungai-sungai yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi ke pedalaman yang letaknya di sekitar pelabuhan Cirebon. Kondisi alam yang demikian sebenarnya berpotensi untuk menjadi pusat berkembangnya peradaban, karena dengan keberadaannya yang strategis itu seharusnya mampu mengikuti gejala umum kota-kota tua yang letaknya di tepian air. Namun hal tersebut tidak terjadi pada Cirebon, setidaknya di masa pengaruh Hindu. Pada masa itu Cirebon belum menampilkan daerah atau kota yang berarti, ia sekedar sekumpulan daerah bawahan kekuasaan Hindu yang berpusat di Kawali Galuh. Sebelum masuknya agama Islam, wilayah Cirebon telah di huni oleh sejumlah penduduk dan telah ada bentuk-bentuk pemerintahan meskipun dalam pola yang masih sederhana dan terbatas, menurut catatan lama di wilayah ini telah berdiri beberapa kerajaan Singapura, Japura, dan Keadipatian Palimanan di bawah pemerintahan Kerajaan Rajagaluh. Cirebon yang dulunya dikenal dengan nama Caruban Nagari, menampakkan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika pengaruh Islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa. Sebuah manuskrip berbahasa China “Shun-Feng Hsiang-Sung” yang menjelaskan adanya intruksi jalur pelayaran dari Shun-t’a (Sunda Pajajaran) ke arah timur Pantai Utara menuju Che-Li-Wen (Cirebon). Dalam laporan Tome Pires, ia menggambarkan Kota Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan yang bagus yang pada waktu ia datang menyaksikan 3-4 jung (perahu besar buatan negeri Cina) dan kurang lebih 10 lancara. Ia menggambarkan juga bahwa kota Cirebon dapat dicapai dengan menggunakan jung dan terdapat pasar yang jauhnya 1 km dari istana. Bisa dibayangkan, kesaksian Tome Pires di tahun 1513 M, Cirebon berperan sebagai jalan lalu-lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, mungkin sungai yang dimaksud sekarang adalah Sungai Kriyan (sekarang yang dapat dilayari sampai ke Cirebon Girang). Tepat di sebelah Sungai Kriyan, Kota Cirebon berdiri kokoh sebuah bangunan bersejarah yang sudah berusia lebih dari 300 tahun. Bangunan tersebut yaitu Lawang Sanga yang dibangun pada tahun 1677 masehi. Berdasarkan Naskah Negara Kertabumi, Lawang Sanga yang terletak di Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk dibangun dalam rangka persiapan infrastruktur Gotrasawala yang dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta pada masa Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya. Lawang Sanga berarti pintu sembilan. Karena terdapat sembilan pintu yang terdiri dari satu pintu di depan, satu pintu ditengah, empat pintu di samping, dan tiga pintu di belakang. Fungsi Lawang Sanga yakni sebagai tempat berlabuhnya perahu dari berbagai macam kerajaan di Nusantara dan mancanegara. Sebelum para tamu tersebut menuju Keraton Pakungwati terlebih dahulu akan melalui gerbang Lawang Sanga. “Bangunan ini adalah pintu masuk atau gerbang bagi tamu dari kerajaan di Nusantara, Tiongkok, Persia, Arab dan lainnya,” ujar Juru Kunci Lawang Sanga, Suwari, Jumat (12/7). Dijelaskannya, Lawang Sanga merupakan Syahbandar tempat dikumpulkannya upeti atau hadiah dari kerajaan lainnya sebelum diserahkan langsung kepada raja. Konon, bangunan ini pun dipercayai sebagai tempat perundingan para Wali Sanga. Serta tempat keluarnya keluarga raja bila ada serangan ke keraton. \"Bangunan Lawang Sanga sebagian besar masih asli termasuk daun pintunya yang terbuat dari kayu jati. Saat ini Lawang Sanga sudah tidak difungsikan lagi. Namun pada bulan-bulan tertentu banyak masyarakat yang datang untuk berziarah. Biasanya banyak peziarah yang datang setiap bulan Sura dan Mulud. Bangunan Lawang Sanga pernah di renovasi bagian atasnya pada tahun 1999,” pungkasnya. Di sisi lain, beragam peristiwa yang melibatkan Sungai Kriyan timbul kesan mistis. Seperti maraknya orang hilang di sungai dan muncul dalam kondisi tak bernyawa. Sebagian besar masyarakat Cirebon meyakini mitos sosok Siluman Buaya Putih di antara Sungai Krian dan Situs Lawang Sanga. Mitos sosok Siluman Buaya Putih ini menjadi menarik karena buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan merupakan jelmaan salah seorang putra dari Sultan Sepuh I Syamsuddin Martawijaya, tokoh dibalik pembangunan Lawang Sanga guna persiapan infrastruktur Gotrasawala yang dilaksanakan Pangeran Wangsakerta. Diketahui, anak dari Sultan Syamsudin yang dikutuk menjadi buaya putih bernama Elang Angka Wijaya. Dia dikutuk karena semasa di dunia tidak pernah patuh terhadap perintah ayahnya. \"Elang Angka Wijaya memiliki kebiasaan kalau makan sambil tiduran tengkurap. Sultan selalu menasihati agar tidak seperti itu tapi kerap diabaikan. Hingga akhirnya sultan berucap anaknya kalau makan tengkurap seperti buaya. Ucapan orang dulu kan manjur,\" ujar dia. Kendati demikian, di Indonesia hewan seperti buaya putih banyak yang menganggapnya sebagai jelmaan siluman. Bahkan konon binatang ini kerap kali muncul secara misterius di sungai. Dan memiliki mitos berbeda-beda di tiap daerah di Indonesia. Buaya putih, termasuk keluarga Alligatoridae, hidup di Tenggara Amerika Serikat. Nama ilmiah mereka adalah Mississippie Alligator. Buaya Putih ini pertama kali ditemukan oleh Perusahaan Eksplorasi Louisiana pada tahun 1987 dan dibawa di bawah perawatan dan perlindungan di kebun binatang Louisiana. Mereka 18 spesies dan semua adalah laki-laki. Seperti semua buaya, mereka juga hidup di rawa-rawa air tawar, rawa, sungai, danau dan badan air kecil. Dari sebuah penangkaran bernama Wild Florida, yang beralamatkan di Kenansville, Florida, Amerika Serikat. Para ilmuwan sekaligus ahli hewan di Wild Florida diketahui memelihara dua alligator albino bernama Snowflake (betina, 25 tahun) dan Blizzard (jantan, 14 tahun). Pada awal Juni 2019, peneliti memperhatikan terdapat sesuatu yang janggal dengan perilaku Snowflake.

Ia tampak membangun sarang dan bertindak agresif melindungi sarangnya. Setelah mengalihkan perhatian Snowflake, peneliti menemukan 19 telur di dalam sarang. \"Induk buaya termasuk salah satu dari beberapa induk hewan terbaik di dunia, tetapi sayangnya Snowflake buta karena albinisme-nya,\" kata Dan Munns, pemilik Wild Florida. https://youtu.be/VO2vLdVZFww Dikutip dari IFLScience, alligator albino adalah hewan langka sehingga butuh perhatian dan perlakuan khusus dalam merawatnya. Peneliti memilih memindahkan belasan telur alligator albino karena mereka bisa dimakan oleh semut atau rakun. Telur alligator biasanya menetas dalam 60 hari dalam inkubasi sehingga kita bisa melihat alligator albino baru pada akhir Juli atau Agustus 2019. Hanya ada 20 alligator albino di dunia yang ada di penangkaran. Jika berhasil menetas, tentunya itu berpotensi menggandakan jumlah alligator albino di dunia. Alligator albino memiliki gen resesif yang mempengaruhi melanin yang mereka hasilkan. Itu membuat hewan tersebut memiliki kulit putih dan mata putih kemerahan. Kelainan di atas dapat membuat mereka kesulitan mengatur suhu tubuh dan memiliki penglihatan yang buruk. https://youtu.be/7cjpPJbUnuI          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: