Melacak “Rumah van De Vries” di Klangenan

Melacak “Rumah van De Vries” di Klangenan

KAWASAN Jamblang dan Klangenan di Kabupaten Cirebon, sempat mengalami masa-masa kejayaan pada masa kolonial Belanda. Kawasan yang terletak di jalur proyek jalan Daendels ini, tak heran jika ditemukan banyak bangunan tua di Jamblang dan Klangenan di sepanjang jalan yang dibangun Daendels yang kini menjadi jalur Pantura. Kawasan sentra perekonomian yang ramai di Cirebon saat itu. Banyak didirikan bangunan-bangunan yang didominasi oleh pertokoan, terutama oleh para keturunan Tionghoa yang datang ke tempat ini. Tulisan Fedor Schultze, berjudul “West Java: Traveler guide for Batavia and from Batavia to Preanger Regencies and Tjilatjap” terbitan Visser, Batavia, tahun 1894. Khusus dari Bandung ke Cirebon dimuat di halaman 72,

Dari Parapatan lanjut ke desa Waringin (Ciwaringin), kemudian desaPedjagan-asen (Pejagan Asem), lalu desa Gempol, lewat Fort Palimanan (Benteng Palimanan)–11 mil dari Cheribon/Cirebon, lanjut melewati Passar Djamlang (Pasar Jamblang), kemudian ke desa Karbarepan (Kebarepan), melewati perkebunan tebu Soerawingaoen (Surawinangun), masuk ke desa Peloemboeng (Plumbon), terus ke desa Karang-assem (Karangasem), lalu desa Wandasatoe (Wandasatu–sekarang Wadas/Wadaspos?), kemudian desa Djetis/Jetis, desa “yllssman” (Asinan?), terus desa TFeroe (Weru), melewati Passar Plered, lewat Loewar Kota (Luarkota–tidak jelas lagi sekarang sebagai desa apa, pernah jadi distrik dari Kabupaten Cirebon semasa ketika Kabupaten Majalengka–alias Majapaait–masih Kabupaten Maja), terus lanjut ke Tajngkil (Tangkil)–kediaman Residen, atau melalui Kamenka-gedeh (Kemlakagede) terus ke Cheribon (Cirebon). (Dari Karangsambung ke Cirebon sekitar 12 jam berkuda).
Di Klangenan sendiri, terdapat salah satu bangunan tua peninggalan Belanda yang terletak tidak jauh dari jalan raya. Bagi masyarakat, rumah tua itu kerap disebut rumah Pak Sudirman, karena pemiliknya yang sekarang adalah milik keluarga Sudirman. Dikutip dari laman Cagar Budaya milik Kemendikbud diungkapkan  pola tata ruang bangunan adalah bangunan utama terletak di depan dilengkapi koridor penghubung bangunan di belakang. Halaman depan cukup luas tanpa disertai komponen teras asli. Bangunan utama bersifat bangunan tertutup ini dilengkapi dengan akses pintu utama, 2 (dua) di bagian depan menuju ke luar halaman dan 1 (satu) pintu menuju bangunan di belakang melalui koridor. Fasillitas lain adalah sumur dan bekas kamar mandi kuno pada subut tenggara bangunan utama. Bangunan utama memiliki bentuk atap tajug semi kerucut dengan bahan penutup dari genteng polos bentuk plentong. Konstruksi pintu dan jendela memiliki dimensi yang cukup besar dan dapat digunakan indikasi sebagai bangunan masa kolonial. Pintu terbuat dari kusen kayu dengan penutup variasi kayu- kaca. Kayu dominasi bahan jati, sedangkan pada material kaca memiliki model polos dan kaca patri. Daun pintu terdiri 2 (dua) daun berbentuk krepyak, sedangkan 2 (dua) daun pintu rangkapnya (bagian dalam) bahan kayu- kaca. Begitu juga dengan komponen jendela, dominasi penutup bentuk krepyak dan variasi penutup kayu- kaca. Namun, pada bagian ambang atas jendela terdapat motif profil lengkung. Keseluruhan material dinding tampak masih asli, dengan ukuran ketebalan 30 cm dan memiliki tinggi 380 cm. Material keaslian bangunan juga dapat dijumpai pada bahan lantai dan plafon ruangan bangunan utama. Lantai bahan traso masif terlihat telah mengalami keausan, sedangkan plafon bahan susunan lembaran- lembaran kayu. Keaslian lain adalah lengkapnya komponen façade bangunan. Komponen atap ini dominasi bahan struktur kapur, semen, dan bata. Data ini berdasarkan pada kelupasan dinding atap. Perbingkaian bangunan yang cukup menarik adalah adanya fasilitas anak tangga menuju atap facade yang dilengkapi 1 (satu) pintu dengan ambang atas bentuk lengkung dan penutup pintu bahan kayu. Bangunan hanya memiliki 1 (satu) lantai dan tidak bertingkat. Mengingat hal ini, ternyata anak tangga tersebut hanya untuk akses naik menuju atap facade . Pengamatan berikutnya adalah pada bangunan bagian belakang. Pada bagian belakang bangunan juga dilengkapi bangunan penghubung (koridor) antara bangunan utama dengan bangunan pelengkap di belakangnya. Pada bagian belakang bangunan juga dilengkapi prasarana sumur dan kamar mandi. Bangunan seluas 315 m² ini berdiri di atas lahan milik seluas 1500 m². Bangunan belakang yang memanjang timur- barat memiliki arah hadap ke utara dan dilengkapi juga dengan fasilitas kamar mandi. Bangunan belakang tersebut terbagi dalam 5 (lima) ruangan. Kondisi keaslian bangunan ini dapat diamati dari bentuk atap pelana kuda bahan genteng plentong polos. Lantai dominasi tegel kuno warna kuning 20 cm x 20 cm motif kotak pada permukaannya. Material pintu dan jendela pada bangunan belakang telah diganti material batu. Diketahui, informasi dari Bu Niah (82) selaku istri dari almarhum Pak Sudirman, rumah ini dibangun oleh orang Belanda, lalu dibeli oleh warga Tionghoa. Kemudian, dibeli lagi oleh mertuanya atau orang tua Pak Sudirman. Menurut cerita dari mertuanya, rumah ini dibangun sekitar tahun 1816. Namun, ada juga catatan yang menyatakan bahwa rumah ini dibangun pada tahun 1902 atas nama seorang Belanda. “Awalnya rumah ini milik orang Belanda, lalu dibeli oleh orang Tionghoa, lalu dibeli lagi oleh mertua saya,” jelasnya. Bu Niah menceritakan, rumah ini dulunya digunakan orang-orang Belanda sebagai tempat artileri militer Belanda dan kantor karesidenan. Hal tersebut dibuktikan dengan seringnya ditemukan peluru-peluru di sekitar rumah, yang memang digunakan untuk perang. Bangunan tua peninggalan Belanda di Klangenan ini pun mendapatkan perhatian warganet. Salah satunya, akun media sosial  facebook Tendy Chaskey turut mengunggah foto-foto Rumah Belanda di Klangenan. Dalam unggahannya, Tendy menyertakan informasi sejarah rumah yang terletak di Blok Kitorek, Serang, Klangenan. \"Rumah van De Vries\", begitu cucu pemilik rumah ini, Arif Nur Alamsyah, menyebut kediaman yang dibeli oleh kakeknya dahulu dari seorang Tionghoa yang hidup di Klangenan ini. Menurut tutur cerita yang ia dengar, rumah ini semula dimiliki oleh seorang pria kulit putih berkebangsaan Belanda yang bernama van de Vries. \"Belum jelas siapa sosok yang dimaksud karena nama de Vries merujuk pada daerah yang ada di Belanda, Frisia (Friesland),\" tulis Tendy Chaskey. Unggahan foto-foto miliknya ini pun mendapatkan tanggapan dari salah seorang warganet. Diantaranya, Nugroho Mulyo turut mengunggah tangkapan layar yang bersumber dari Bataviaasch nieuwsblad terkait  sosok bernama de Vries, \"De Vries seorang pendeta/pastor ? Iklan jadwal pelayanan jemaat tahun 1939.\" \"\"   Lebih lanjut, Tendy menanggapinya, \" Saya lacak juga, ada sosok de Vries lain yang merupakan tuan tanah Pak Nugroho Mulyo. Di jawatan pengelolaan air, ada pula insinyur J.W. de Vries. Lalu di Bandung, ada juga de Vries yang sukses menghidupkan Jl. Braga dengan geliat niaga. De Vries memang nama belakang (surname) yang banyak digunakan, terutama oleh orang Belanda yang berasal dari Friesland. Andaikan ada kejelasan mengenai nama depannya, mungkin misteri pemilik pertama rumah ini bisa dipecahkan.\" Melihat gaya arsitekturnya, tulis Tendy Chaskey seperti dikutip dari akun facebooknya, Sabtu (13/7),  bangunan ini berkesan grandeur (megah) apabila dibandingkan dengan rumah-rumah lain pada zamannya. Bangunan dengan model tersebut dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik, dan kemungkinan dibangun sekitar pada abad ke-19 atau awal abad ke-20. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: