Syekh Hasanudin ‘Quro’ Menumpang Armada Cheng Ho Islamkan Tanah Jawa

Syekh Hasanudin ‘Quro’ Menumpang Armada Cheng Ho Islamkan Tanah Jawa

DI Kampung Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terdapat makam salah satu tokoh penyebar Islam periode awal di Nusantara. Menurut tulisan yang tertera pada panel di depan komplek makam, Nama sosok yang dimakamkan di situ adalah Syekh Qurotul A’in. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama yang juga bernama Syekh Hasanudin. Beliau adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh Jalaluddin ulama besar Makkah. Mengutip situs resmi Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Barat, Syekh Hasanuddin menginjakkan kaki pertama kali pada tahun pada tahun 1416 dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan. Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya  terdapat seorang ulama yang hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang muslim, permintaan Syekh Hasanuddin beserta pengiringnya menumpang kapalnya dikabulkan. Syekh Hasanuddin beserta pengiringnya turun di pelabuhan Karawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan seorang gadis bangsawa Karawang bernama Nay Rena Parwati dan mendirikan pesantren sekitar tahun 1418 M, atau sekitar setahun setelah kunjungan Laksamana Cheng Ho yang ke-5 pada 1417 M. Terkait dengan pesantren yang didirikannya ini, disebutkan bahwa letak bekas pesantren Syekh Quro berada di Desa Talagasari, Kecamatan Talagasari, Karawang. Bila benar bahwa persantren tersebut didirikan pada tahun 1418 M, maka bisa dikatakan bahwa ini merupakan pesantren tertua di Pulau Jawa. Dalam perjalanan dakwahnya, Syekh Hasanuddin mendapat tantangan dari Prabu Angga Larang, yang tidak lain penguasa Pajajaran kala itu. Saat itu, Bandar Karawang, salah satu pelabuhan penting kerajaan Padjajaran, karena selain menjadi jalur utama perniagaan ke pelabuhan Sunda Kelapa, juga menjadi jalur utama persimpangan jalan dari Ibu Kota Pakuan Padjajaran ke Kawali hingga Galuh. Prabu Angga Larang kemudian mengirim utusan, memerintahkan Syekh Hasanuddin Quro untuk menghentikan dakwahnya. Syekh Quro mematuhi perintah Prabu Angga Larang. Beliau kemudian pergi ke Malaka. Tapi sebelum itu, beliau berpamitan terlebih dahulu pada Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati, Cirebon, yang juga sahabat dari Laksamana Cheng Ho. Mendengar rencana kepergiannya, Ki Gedeng Tapa kemudian menitipkan putrinya bernama Nyi Subang Larang untuk diajari agama Islam dan ikut bersamanya ke Malaka. Diantara Naskah Klasik yang menceritakan tentang kehidupan Syekh Quro adalah naskah Sakala Pacaluban Syekh Quro, naskah yang kini menjadi koleksi Musium Prabu Siliwangi Sukabumi Jawa Barat. Ditinjau dari bentuk, kandungan dan asal-usulnya diketahui bahwa, naskah Sakala Pacaluban Syekh Quro merupakan koleksi ke 38 Museum Prabu Siliwangi Sukabumi. Pemiliknya adalah R.A.M Fajar Laksana, naskah ia dapat dari warisan keluarganya. Kertas Naskah terutama pada bagian awal terbuat dari kulit kayu, tidak terdapat penjelasan mengenai pengarang maupun penulis naskah. Aksara menggunakan aksara Sunda, bahasa yang terkandung didalamnya, campuran ada bahasa Sunda dan Jawa. Jumlah halaman naskah terdiri dari 21 halaman dengan 11-12 baris tulisan dalam tiap-tiap halaman, sementara ukuran naskah 14X20 cm. Naskah Sakala Pacaluban Syekh Quro berisikan tentang sejarah Syekh Quro, kesimpulannya adalah bahwa dahulu sebelum menyebarkan agama Islam di Karawang, Syekh Quro mulanya berdakwah di Gunung Sembung (Cirebon), di Cirebon Syekh Quro kemudian dijuluki oleh masyarakat sekitar dengan panggilan Datuk Kahfi. Akan tetapi karena tidak disukai oleh Prabu Anggala Larang (Raja Kerajaan Galuh), Syekh Quro akhirnya diusir dari Cirebon. Dalam masa pengusiran, akhirnya Syekh Quro berkelana mencari tempat baru yang masih belum terjamah orang, yaitu Di Karawang. Sementara dakwah di Cirebon akhirnya dibebankan pada saudaranya Syekh Nurjati, lama kelamaan julukan Datuk Kahfi akhirnya melekat kepada Syekh Nurjati. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: