Sejarah Gempa Bumi 1847 yang Mengguncang Cirebon
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan pusat gempa yang berlangsung Jumat malam lalu berada di 147 km Barat Daya Sumur-Banten dengan kedalaman 10 kilometer. BMKG juga sempat mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami sebelum diakhiri pada jam 21.35 WIB. “Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini dipicu penyesaran oblique yaitu kombinasi gerakan mendatar dan naik,” jelas Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers di Jakarta. “Jadi [masyarakat] tetap tenang, namun waspada dan juga diimbau agar tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,\" imbuhnya. Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat bahwa wilayah yang berdekatan dengan pusat gempa bumi pada Jumat malam adalah pesisir selatan Banten, Jawa Barat, dan Lampung. “Berdasarkan lokasi pusat gempa bumi dan kedalamannya, gempa bumi berasosiasi dengan aktivitas penunjaman Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia,\" demikian keterangan PVMBG. Sejarah mencatat, jauh sebelumnya, fenomena gejala alam yang tertulis dalam naskah lama juga pernah digunakan sebagai legitimasi oleh Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat melalui Babad Galuh. Penobatan Prabu Siliwangi pada 1482 dibarengi dengan terjadinya gempa bumi yang diklaim sebagai sambutan alam bahwa raja baru yang akan membawa kemajuan telah hadir. Selain dijadikan legitimasi, sumber-sumber kuno semacam itu juga sangat diragukan validitasnya. Yakob Sumarjo dan Saini K.M. dalam Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad Pakuan (2004) menyebutkan bahwa penulisan Babad Galuh, misalnya, hanya diperoleh dari bahan-bahan yang berupa mitos (hlm. 125). Dikutip dari Nautical Magazine April 1848, disebutkan setelah beberapa lama laporan gempa tak lagi terlacak. Hingga kemudian pada 16 Oktober 1847, pagi hari terjadi tiga goncangan besar terasa nyaris di seantero barat Jawa hingga Lampung. Kali ini daerah sekitar Cirebon disebut yang paling menderita. Gempa terjadi 20-30 detik. Disertai gemuruh macam kapal buang sauh. Dalam kota Cirebon 200-an rumah remuk. Arjawinangun rata tanah. Arah goncangan dari barat daya ke timur laut. Bahkan, dokumen lain berjudul Uit Cheribon\'s Geschiedenis disusun oleh Dr. E.C. Godde Molsbergen, seorang petugas arsip negara di Batavia, merekam peristiwa gempa bumi tahun 1847 menghancurkan bebeberapa bangunan pemerintahan, terutama gedung karesidenan. Lebih lanjut, tercatat tanggal 25 Oktober dan 29 November 1875, gempa juga terjadi di wilayah Kuningan. Tanah longsor dari Gunung Ciremai dan beberapa jembatan hancur.
Sehubungan dengan potensi gempa, wilayah Jawa Barat memiliki tiga sumber gempa, yaitu zona megathrust di selatan Jawa Barat, selatan Selat Sunda dan Sesar aktif di daratan. Terakhir sesar yang telah teridentifikasi adalah Sesar Baribis, Lembang dan Cimandiri.
Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, sebanyak 26 kejadian gempa merusak dengan 3,3 hingga 7,3 SR di wilayah Jawa Barat pada periode 1963 hingga 2018. Intensitas maksimum yang dapat ditimbulkan mencapai VIII MMI.
Berdasarkan potensi dampak yang sangat besar, BMKG menekankan perlunya kewaspadaan terhadap pemerintah, dunia usaha dan masyarakat setempat. “Banyak sekolah, perkantoran, bangunan hotel sarana pariwisata, industry, dan sentra ekonomi di sepanjang jalur Sesar Lembang,” terang Daryono.
Sementara itu, Peneliti Geotek LIPI Mudrik Daryono mencatat secara detail Sesar Lembang dengan menggunakan metode tektonik geomorfologi dan paleoseismologi, membagi Sesar Lembang menjadi enam bagian. Panjang keseluruhan dari bagian tersebut mencapai 29 km, mulai dari Cimeta, Cipogor, Cihideng, Gunung Batu, Cikapundang, dan Batu Lenceng.
Tak hanya itu, hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan bahwa Sesar Lembang berpotensi terjadi gempa dengan magnitudo maksimum 6,8 SR.
Pada potensi tersebut, BMKG telah melakukan pemodelan peta tingkat guncangan atau shakemap. Skenario yang digunakan yaitu 6,8 SR dengan kedalaman 10 km di zona Sesar Lembang. Pemodelan menunjukkan intensitas VII-VIII MMI. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: