Maroeto Nitimihardjo, Tokoh Kemerdekaan asal Cirebon yang Terlupakan
MAROETO Nitimihardjo mungkin tak terlalu familiar ketika membicarakan tokoh-tokoh besar yang pernah tercatat dalam sejarah jelang kemerdekaan Indonesia. Yang bergaung, adalah nama seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bung Karni atau dikenal Sukarni. Nama Maroeto hanya terdengar samar-samar. Maruto Nitimihardjo lahir di Cirebon dari keluarga aristokrat, pada 26 Desember 1906. Persinggungannya dalam pergerakan diawali tatkala menjadi anggota Jong Java. Dia kemudian tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), salah satu organisasi pemuda yang menginisiasi Sumpah Pemuda. Maruto adalah pusat dari seluruh rangkaian gerakan muda di Indonesia dalam kurun waktu 1926-1950. Ia, seorang pejuang yang berperan penting membentuk jejaring pemuda di Indonesia. Tokoh muda ini adalah salah satu orang yang menggagas gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dengan mengumpulkan pemuda-pemudi dari berbagai daerah di Indonesia. Ia, orang yang paling bertanggung jawab terhadap Sumpah Pemuda 1928, mengajak Sugondo Djojopuspito untuk melakukan gebrakan politik dengan membangun jaringan, ide itu kemudian disetujui oleh Kotjo Sungkono ketua PI (Pemuda Indonesia) yang merupakan sayap penting di dalam tubuh PPPI. Maruto juga terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok untuk mendorong Bung Karno dan Bung Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah orang yang oleh Bung Hatta untuk menyelesaikan konflik antara kaum bangsawan dan ulama di Aceh. Kesaksian Maruto yang dituturkan kepada putranya yang kelima, Hadidjojo dalam buku Ayahku Maruto Nitimihardjo, merupakan sumber sejarah yang bisa menjadi alternatif dalam memahami perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia. Bersama Adam Malik, Maruto turut membidani lahirnya Antara, cikal bakal kantor berita Indonesia. Pergerakan Maruto menjadi menarik karena di masa menjelang kemerdekaan, dalam buku Ayahku Maruto Nitimihardjo, dia menyatakan pemuda di kubunya adalah ‘kelompok tertutup\'. Maruto menyaksikan dan melakoni kisah lain di balik sejarah kemerdekaan Indonesia. Mulai dari langgam keroncong dalam lagu Indonesia Rayayang dialunkan WR Soepratman dalam Sumpah Pemuda hingga hingga kesakian tentang adanya testamen politik Bung Karno kepada Tan Malaka yang bertempat di kediaman Suharto, dokter pribadi Bung Karno, di Jalan Kramat raya, Jakarta Pusat. Sebagai seorang Murbais, persinggungan Maruto dengan Tan Malaka tak serta merta. Muhammad Yamin-lah yang memperkenalkan Maruto terhadap gagasan Tan Malaka. Saat Kongres Pemuda II, Yamin memberikan risalah Tan Malaka berjudul Massa Actie(Aksi Massa) dan Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Kendati demikian, sebagai seorang elite terdidik, Maruto lebih memilih menjadi kader PNI Pendidikan yang dibentuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir hingga kedatangan Jepang. Di masa revolusi, Maruto justru berseberangan dengan Sukarno-Hatta yang memilih berdiplomasi dengan Belanda. Ia juga menjadi sosok kunci dibalik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan di Cirebon. Dalam buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan karya Hadidjojo Nitimihardjo, disebutkan waktu yang berjalan cepat dalam ketidak pastian peristiwa, seorang bernama dr.Soedarsono (ayah dari Juwono Soedarsono) datang bertemu Maroeto Nitimihardjo di sebuah pengungsian bagi istri dan anaknya yaitu di desa Prapatan, sebelah barat Palimanan, 30 km jauhnya dari Cirebon tempat dr.Soedarsono berasal. Ia meminta teks Proklamasi yang dibuat Sjahrir yang katanya dititipkan pada Maroeto. Namun Maroeto menyatakan tidak ada. Hingga dr. Soedarsono menjadi berang dan berkata, \"Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon.\" Dan akhirnya terkabarlah bahwa Proklamasi itu dibuat dan dibacakan oleh dr.Soedarsono pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 di alun-alun Cirebon yang dihadiri sekitar 150 orang. Sehari sebelum Soekarno membacakan Proklamasi di penggangsaan Timur 56 Jakarta. Program “Merdeka 100 persen” yang diserukan Tan Malaka pada Persatuan Perjuangan tahun 1946 menarik Maruto menjadi pengikut Tan Malaka. Partai Rakyat yang dipimpinnya berfusi menjadi Musyawarah Orang Banyak atau Murba pada 7 November 1948 yang diketuai oleh Sukarni namun dipromotori oleh Tan Malaka. Di Partai Murba, Maruto lebih banyak diam dan mengendalikan partai dari dalam. Pada dekade 1950-an, Maruto menjadi yang pertama mengeluarkan mosi menolak Konferensi Meja Bundar (KMB). Dia menjabat Wakil Ketua Partai Murba antara 1952-1963 sebelum kemudian dibekukan pemerintahan Sukarno pada 1964. Hingga akhir hayatnya, Maruto seorang Murbais yang konsisten ketika banyak tokoh Murba beralih haluan seturut dengan penguasa, seperti Adam Malik. Dia meninggal pada 17 Januari 1989. Kini, Maruto yang telah menjadi perintis kemerdekaan diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: