Marah, SBY Batal ke Belanda
JAKARTA - Di menit-menit akhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membatalkan rencana kunjungan kenegaraan ke Belanda. Presiden tidak terima dengan digelarnya sidang gugatan pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS) di Pengadilan Den Haag, yang mempersoalkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam gugatannya, RMS juga menuntut Presiden SBY ditangkap. “Bagi Indonesia, bagi saya, kalau sampai seperti itu, digelar pengadilan pada saat saya berkunjung ke sana, itu menyangkut harga diri kita sebagai bangsa, menyangkut harga diri kita sebagai bangsa. Oleh karena itu saya memutuskan untuk menunda kunjungan ini,” kata SBY di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, kemarin. SBY mengatakan, adalah hal biasa jika kunjungan presiden disambut unjukrasa dan ancaman keamanan. “Tapi yang tidak bisa saya terima adalah ketika Presiden RI berkunjung ke Den Haag, Belanda, atas undangan Ratu Belanda, dan juga PM Belanda, pada saat itulah digelar sebuah pengadilan yang antara lain untuk menuntut ditangkapnya Presiden RI,” kata SBY. Gugatan kepada SBY pertama kali diumumkan Presiden RMS John Wattilete, yang juga seorang advokat, melalui teleteks di televisi publik NOS, Sabtu (2/10). Tuntutan penangkapan disampaikan melalui kort geding (prosedur dipercepat) ke pengadilan. Percepatan proses pengadilan itu membuat sidang digelar bersamaan dengan rencana kunjungan SBY ke Belanda. Presiden berpendapat, jika kunjungan ke Belanda tetap dilakukan, justru akan menimbulkan situasi psikologis yang tidak baik. Ia mengatakan, hubungan Indonesia dan Belanda sudah cukup baik. “Saya berharap semestinya kunjungan seperti ini tidak diganggu oleh sebuah atau kegiatan yang kontraproduktif dan bisa menimbulkan salah terima dari bangsa kita, bangsa Indonesia,” ujarnya. Penundaan dilakukan tanpa disertai kepastian rencana berikutnya. SBY hanya mengatakan, pemerintah menunggu situasi jernih sehingga tidak timbulkan salah paham bagi rakyat Indonesia. “Karena niat kita sebenarnya ingin tingkatkan kerjasama,” katanya. “Saya tahu bahwa pengadilan adalah pengadilan. Tapi ini adalah bukan pengadilan biasa, bukan kejahatan, menuntut harga diri bangsa Indonesia,” tambah SBY. Staf Khusus Presiden Bidang Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan, sebenarnya pemerintah tetap menghormati proses peradilan di Belanda. Hanya saja, timing pengadilan tersebut dinilai tidak tepat. “Tidak tepat timingnya, prosesnya, kemudian akan mempersulit posisi pemerintah Belanda sendiri,” kata Faizasyah. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan, pemerintah Belanda telah menjamin imunitas atau kekebalan hukum untuk SBY. “Tapi dampak politis dari pemberitaan dimana kemudian itu diputuskan dari lembaga pengadilan di sana, itu akan membuat suatu situasi yang tidak menguntungkan dan tidak baik juga untuk harga diri dan kehormatan kita,” kata Julian. Dia mengatakan, jika proses pengadilan tidak dilakukan bersamaan dengan kunjungan, Presiden masih mungkin tidak melakukan pembatalan. Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, pembatalan kunjungan presiden ke Belanda merupakan preseden buruk dan memalukan, karena ketakutan atas sebuah proses peradilan. “Pembatalan ini sekaligus memberi ruang bagi RMS untuk semakin aktif propaganda dan kampanye,” kata Hendardi. Ia mengatakan, bangsa Indonesia justru sangat dirugikan oleh implikasi yang timbul dari keputusan SBY. KELOMPOK RADIKAL Sumber Jawa Pos di lingkungan TNI menyebut, menjelang keberangkatan SBY ke Belanda, intelijen TNI dan Badan Intelijen Negara telah melakukan early detection (deteksi awal) terhadap pihak-pihak yang kemungkinan melakukan ancaman terhadap SBY. Penggalangan informasi itu bahkan sudah dilakukan secara intensif selama tiga bulan menjelang jadwal keberangkatan SBY. “Informasi yang dikumpulkan memang RMS sedang merencanakan sesuatu,” katanya kemarin. Perwira yang enggan disebut namanya itu menyebut, RMS memang telah lama menjalin kontak dengan gerakan-gerakan radikal setempat di Belanda. “Mereka kemungkinan akan mengadakan semacam balasan terhadap penanganan tragedi Cakalele Juli 2007,” katanya. RMS di Belanda diduga juga mempunyai kemampuan untuk melakukan sabotase. “Mereka terlatih, karena ini turun temurun. Karena itu, pengamanan Bapak (presiden) dari kita sudah disiapkan dengan sangat serius,” katanya. Pada 1976 gerakan RMS ini pernah membajak kereta api di Beilen dan menduduki gedung Konsulat RI di Amsterdam. Disusul aksi Senin pagi 23 Mei 1977, RMS melakukan aksi di dua tempat yakni membajak kereta-api antar kota Assen-Groningen dan menduduki gedung sekolah dasar di Bovensmilde. Jawa Pos kemarin melihat tiga anggota rombongan Paspampres yang sedianya akan ke Belanda menenteng tas kerja di samping pundak. Tas itu berisi senapan otomatis dalam kondisi siap pakai. Dihubungi dari Jakarta, Duta Besar RI untuk Belanda JE Habibie menyebut hingga jam-jam terakhir menjelang SBY berangkat, pemerintah Belanda tidak bisa memastikan keamanan presiden dan imunitasnya di pengadilan. “Mereka bilang akan menjamin keamanan bapak Presiden tapi di sisi lain mereka juga bilang tak bisa intervensi pengadilan,” katanya. Jauh-jauh hari JE Habibie sudah meminta pemerintah Belanda agar memperhatikan secara serius rencana gugatan sekelompok kecil orang yang menyebut dirinya RMS itu. “Saya sudah ingatkan mereka, kita tidak mau Presiden jadi bulan-bulanan politik,” katanya. JE Habibie mengaku sudah diberitahu oleh Menteri Kehakiman Belanda jika kemungkinan besar tuntutan RMS akan ditolak hakim. ”Tapi, ketika kita tanya apa garansinya, mereka bilang tidak ada dan tidak mungkin intervensi keputusan hakim,” katanya. Adik mantan presiden Habibie itu menjelaskan, pemerintah Belanda adalah pihak yang mengundang SBY. ”Jadi, kunjungan ini atas undangan resmi tapi ternyata mereka tidak bisa memberi kepastian,” katanya. Kritik atas tindakan pembatalan SBY datang dari DPR. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-P, Gayus Lumbuun, menilai tindakan pembatalan kunjungan dengan alasan adanya pengadilan yang meminta penangkapan terhadap dirinya sebagai tindakan yang sangat memalukan. “Ini sangat memalukan. Kalau alasan terorisme itu masih bisa dipahami. Kalau ini sangat fatal,” katanya. Dia menambahkan, kesalahan utama adalah pada staf-staf presiden SBY. “Ini kesalahan sangat fatal yang dilakukan oleh tim kerja Presiden SBY. Presiden hanya berdasarkan informasi yang tak dilatarbelakangi pengetahuan hukum litigasi,” kata Gayus. Lebih lanjut, Gayus menjelaskan bahwa proses persidangan tersebut merupakan proses biasa dalam pengadilan. Menurut Gayus, pengadilan di Belanda tersebut juga belum tentu mengabulkan tuntutan itu. Dalam hubungan diplomatik internasional, kata Gayus, penangkapan kepala negara sahabat adalah sesuatu yang tidak mungkin. ”Dalam hal ini tak mungkin penangkapan dilakukan. Jadi, kenapa mesti takut,” katanya. Menurutnya, keputusan Presiden SBY ini akan ditertawakan oleh negara-negara lain.(sof/rdl/fal/zul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: