Proposal untuk Presiden: 15 Hari Atasi Covid-19 Melalui Pendekatan Kuantitatif, Mudah dan Masuk Akal

Proposal untuk Presiden: 15 Hari Atasi Covid-19 Melalui Pendekatan Kuantitatif, Mudah dan Masuk Akal

Covid-19 bisa diatasi dalam 15 hari. Melalui pendekatan kuantitatif. Ditambah 7 ilmu penyeimbang. Cara ini telah diajukan ke Presiden Jokowi. Mudah dipahami dan masuk akal.

===================

QUANTITATIVE Approach for Covid-19 Solution pertama diinisiasi oleh Ir Soenoto. Pengusaha Cirebon ini mengatakan ada 2 pendekatan atau solusi dalam mengatasi segala sesuatu. Termasuk menangani Covid-19. Yaitu pendekatan yang bersifat angka (kuantitatif) dan tidak (kualitatif). Dan yang akan dibahas adalah kuantitatif.

Pertama, dengan mengakumulasikan jumlah penduduk Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Disepakati jumlahnya 270 juta jiwa. Kemudian, Indonesia memiliki 8-9 persen orang miskin. Digenapkan agar lebih memudahkan proses hitung, menjadi 10 persen.

Ya, 10 persen penduduk Indonesia adalah warga miskin. 10 persen dari 270 juta adalah 27 juta. Mutlak dan tidak terbantahkan.

“Kalau 27 juta jiwa dikasih bantuan setiap hari sebesar Rp50 ribu, cukup toh? Dari mulai bayi sampai kakek-kakek. Rp50 ribu untuk satu jiwa, bukan 1 keluarga. Jika 1 kartu keluarga ada 4 orang, berarti dapat bantuan Rp200 ribu,” jelas Soenoto saat wawancara dengan Radar Cirebon di kediamannya di Jl Pemuda, Kota Cirebon, Rabu (22/4).

Bantuan sebesar Rp50 ribu dikalikan jumlah penduduk miskin sebanyak 27 juta jiwa. Hasilnya Rp1.350.000.000.000. Hasil tersebut diakumulasikan selama 15 hari. Total keseluruhan mencapai Rp20,3 triliun. Digenapkan menjadi Rp21 triliun. Perlu diketahui, 15 hari mengacu pada masa inkubasi Covid-19.

Kesimpulan pertama, pemerintah harus melakukan lockdown secara nasional selama 15 hari, mempertimbangkan masa inkubasi virus. Jelas, kata Soenoto, ini lebih menghemat anggaran dibanding harus menggelontorkan Rp405 triliun seperti yang pernah disampaikan Menteri Sosial Juliari Batubara, meneruskan amanat presiden.

Jumlah orang yang berhak menerima bantuan dikalikan 2, menjadi 20 persen dari total keseluruhan rakyat Indonesia, menurut Soenoto, masih jauh lebih hemat. “Jadi Rp405 triliun itu mau buat apa,” tanya Soenoto.

Ia pun mewanti-wanti pemerintah untuk lebih hati-hati. Karena sejauh ini pemerintah pusat dianggap tak memiliki pola penanganan yang terarah dan hanya sebatas coba-coba. “Karena tidak punya pola, tidak punya model. Bantuan itu jadi boros, tidak ter-manage, bocor di mana-mana, korupsi lagi. Dan korupsi yang akan terjadi jauh lebih jahat dari virus corona,” ujarnya.

Teori kuantitatif rata-rata, Soenoto melanjutkan, 27 juta warga miskin dibagi dengan 75.000 desa yang ada di Indonesia. Hasilnya, ada 360 orang yang perlu disantuni di setiap desanya. Jika 360 jiwa dibagi dengan 4 (menghitung rata-rata jumlah anggota keluarga yang terdaftar dalam 1 kartu keluarga), hasilnya ada 90 KK di masing-masing desa. “Jadi setiap desa ada 360 jiwa alias 90 KK,” terangnya.

Kemudian dilanjut pembahasan mengenai pelaksana tugas di lapangan. Soenoto mengatakan, TNI layak diberi mandat. Karena dianggap relatif bisa dipercaya. “Institusi yang mempunyai syahadat NKRI harga mati adalah tentara,” ungkapnya.

Ia menyebutkan, Indonesia memiliki 467 ribu TNI. Jumlah tentara itu disebar ke seluruh desa yang ada di Indonesia, sebanyak 75.000 desa. Artinya, lanjutnya, 1 desa akan ditangani oleh 6 TNI. Lebih mengerucut, 1 TNI melakukan pendistribusian kepada 15 KK di masing-masing desa. “1 TNI kebagian 15 KK, sehari juga selesai,” imbuh Soenoto.

Kemudian, koordinator tingkat kota/kabupaten, kata Soenoto, dilakukan walikota/bupati serta dandim. Tunaswisma, baik yang hidup menggelandang, pengemis dan sejenisnya, ditampung oleh masing-masing lurah atau kepala desa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: