Stimulus Rp436,1 Triliun Belum Cukup Atasi Corona

Stimulus Rp436,1 Triliun Belum Cukup Atasi Corona

JAKARTA - Nyaris semua sektor lumpuh diterjang wabah Virus Corona (Covid-19). APBN yang diproyeksikan di beberapa sektor pun rasanya belum kuat untuk menopang harapan publik dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pemulihan ekonomi ini pun diprediksi menyita waktu yang tidak cepat.

Peneliti Pusat Kajian Visi Teliti Saksama Widyar Rahman memperkirakan kinerja perekonomian Indonesia baru dapat pulih pada 2022 dengan proyeksi pandemi virus corona atau Covid-19 reda pada pertengahan 2020.

Ya, tentunya proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, setidaknya sampai akhir 2021,” kata Widyar, Senin (27/4).

Penurunan jumlah kasus positif Corona yang disertai dengan kebijakan penanganan untuk mengatasi Covid-19 dapat menjadi kabar positif bagi pulihnya perekonomian. Namun, menurut dia, permintaan barang dan jasa yang belum pulih dalam waktu dekat masih memperlambat pertumbuhan industri pengolahan nasional.

Kondisi itu juga dipengaruhi oleh kinerja perdagangan global yang masih terdampak oleh turunnya kinerja industri manufaktur di China yang menjadi pusat penyebaran wabah.

“Jika dibandingkan wabah SARS 2002-2003 yang juga berasal dari China, dampak negatif dari merebaknya Covid-19 terhadap perekonomian akan jauh lebih luas,” kata Widyar.

Sementara itu, Peneliti Senior Visi Teliti Saksama Sita Wardhani menambahkan, dari sisi produksi saat ini rata-rata produsen dalam negeri hanya memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pasokan dari China yang selama ini merupakan mitra dagang utama, dalam periode ini terhambat atau hanya terpenuhi sedikit, maka proses produksi pabrik di Indonesia dapat terganggu.

“Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif di bulan April,” kata Sita. Namun, tambah dia, bila pemulihan ekonomi di China berlangsung lebih lama dari perkiraan, maka pemenuhan barang baku impor dapat tertunda lebih lama.

Menurutnya, kelangkaan bahan baku bisa memengaruhi beberapa industri unggulan yang tidak lagi mampu memenuhi permintaan seperti sektor makanan dan minuman. Kelangkaan pasokan itu diperkirakan dapat memicu terjadinya inflasi tinggi, sehingga sektor rumah tangga akan menurunkan konsumsi.

“Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk lebih jauh,” kata Sita.

Terpisah, Peneliti lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Tallatov menilai, pemberian stimulus oleh pemerintah senilai total Rp436,1 triliun atau setara 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) belum cukup untuk mengatasi dampak Covid-19.

Abra mengatakan, total stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh berbeda dengan beberapa negara lain seperti Malaysia yaitu menyiapkan dana khusus untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 10 persen dari PDB.

“Dibandingkan dengan rasio Malaysia, rasio stimulus terhadap PDBnya hampir 10 persen. Apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara maju,” katanya.

Total stimulus Rp436,1 triliun itu terbagi dalam tiga stimulus yaitu RpRp10,3 triliun untuk stimulus pertama, Rp22,9 triliun untuk stimulus kedua, dan Rp405,1 triliun untuk stimulus ketiga. Dalam stimulus ketiga Rp405,1 triliun terdiri dari Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp75,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, serta Rp150 triliun untuk program pemulihan ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: