Pilih Shanghai

Pilih Shanghai

Itulah gambaran seorang ibu yang lagi terjepit wabah di antara dua benua.

Kisah berikutnya tidak hanya menarik, tapi juga penting bagi kita. Agar kita tahu beginilah cara mengelola masyarakat di tengah wabah pandemi. Harian South China Morning Post, Hongkong, memuat kisah sang ibu itu. Tanpa menyebutkan nama dan identitas lengkap.

Begitu mendarat kembali di Shanghai sang ibu menemukan suasana yang begitu berbeda. Begitu ketat. Padahal wabah sudah mulai bisa diatasi di Shanghai.
Tanggal 15 Maret 2020 dia mendarat kembali di bandara Shanghai. Bersama dua anaknyi. Suasananya berbeda sekali dengan di bandara Amerika.

Penumpang pesawat tidak boleh langsung meninggalkan pesawat. Harus lama duduk manis di dalam dulu. Sampai semua pemeriksaan selesai. Satu per satu ditanya tentang keadaan badan mereka. Suhu badan. Obat yang sedang dimakan. Pernah pergi ke kota mana saja. Banyak dokumen kesehatan yang harus diisi. Lalu diperiksa begitu teliti. Dua jam lamanya ibu dan anak Amerika itu berada di dalam pesawat.

Ketika penumpang akhirnya diijinkan meninggalkan pesawat, masih harus antre menjelang proses imigrasi. Dua jam lamanya berdiri di barisan antre itu.
Begitu tiba di depan, seorang petugas bandara melakukan pemeriksaan lagi. Semua dokumen diperiksa teliti lagi. Yang memeriksa mengenakan pakaian APD lengkap.

Setelah lolos pemeriksaan itu masuk lagi ke dalam antrean berikutnya: antre mem-foto copy semua dokumen kesehatan. Yang sudah lolos dua pemeriksaan sebelumnya. Ada mesin foto copy Xerox di situ.
Copy-an dokumen tersebut lantas ditempeli kertas kuning. Artinya, itulah tanda boleh antre di tahap berikutnya. Yakni antre untuk dilakukan pemeriksaan cepat Covid-19.

Hasil pemeriksaan itu akan menentukan nasib. Ada tiga kemungkinan: harus karantina di rumah masing-masing, atau harus karantina di hotel yang sudah ditunjuk. Atau juga harus langsung masuk rumah sakit.

Setelah melalui proses itu, barulah bisa ke imigrasi. Untuk pemeriksaan paspor.
Sang ibu bernasib baik: kondisi badannyi dan anak-anaknyi sangat baik. Mereka dinyatakan harus masuk karantina di apartemen mereka sendiri.

Untuk itu dia mendapat dokumen ”lolos” dari bandara. Berarti boleh mengambil bagasi.

Tapi bukan berarti sudah bebas. Untuk pemegang dokumen warna itu dia harus masuk lorong antrean khusus. Yakni yang menuju bus yang sudah ditentukan. Yakni bus jurusan apartemen sang ibu. Tidak boleh pakai taksi atau pakai bus lain.
Tapi sebelum menuju bus khusus itu dia harus men-download Apps khusus. Yakni Apps laporan kesehatan. Dia harus mengisi daftar pertanyaan di Apps itu. Kondisi badannya harus selalu dilaporkan lewat ponselnya.

Sampailah sang ibu dan anak di dekat bus. Dia harus menjalani lagi pemeriksaan suhu badan. Lalu harus menunjukkan bahwa dia sudah memiliki Apps di ponselnyi.

Masih ada prosedur lain lagi. Dia hanya boleh mengarantina diri di apartemen sendiri kalau bisa memenuhi syarat ini: tetangga di apartemen itu mengizinkan. Yang dimaksud tetangga adalah komite penghuni apartemen (semacam pengurus) dan manajemen apartemen.

Kalau dua pihak itu tidak setuju mereka harus karantina di hotel. Ada dua pilihan hotel. Yang tarifnya 30 dolar dan yang 60 dolar. Itulah hotel yang sudah ditentukan. Agar pemerintah bisa mengawasi dengan ketat.

Sang ibu cukup pede untuk bisa diterima komite apartemen dan manajemenya. Itu karena sang ibu tinggal di apartemen yang penghuninya mayoritas orang asing.
Sebelum sang ibu naik bus, seorang petugas berpakaian ”astronaut” memeriksa paspor. Lalu mengambilnya. Paspor itu baru akan dikembalikan kalau hasil tes Covid-19 sudah keluar.

Tanpa menunggu pengembalian paspor sang ibu naik bus besar. Tidak tahu bus itu akan ke mana. Tidak semua penumpangnya di apartemen yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: