OJK: Pertumbuhan Kredit Perbankan Diprediksi 4 persen di 2020
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan hingga akhir tahun 2020 berkisar 3 persen hingga 4 persen. Tahun lalu, realisasi kredit perbankan 6 persen.
“Tahun 2021, kami harapkan pertumbuhan kredit bisa kembali normal. Hingga akhir 2020 pertumbuhan kredit bank sekitar 3 sampai 4 persen,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam video daring, kemarin (23/7).
Kendati demikian, Wimboh meyakini kinerja penyaluran kredit pada Juli mulai membaik. Hal ini karena di masa new normal sehingga aktivitas ekonomi mulai bergerak kencang.
Kesempatan yang sama, ekonom senior Aviliani berpandangan, bahwa rendahnya penyaluran kredit bukan dikarenakan perbankan tidak mau menyalurkan kredit. Namun memang permintaan kredit masih lesu akibat pandemi Covid-19.
“Kalau kredit bank tidak tumbuh, bukan berarti ekonomi enggak bagus. Harus di balik, bank mengikuti tren. Kalau enggak ada ekonomi tumbuh, tidak ada permintaan kredit. Enggak mungkin bank menawarkan kredit kalau tidak perlu,” katanya.
Dia menjelaskan, pertumbuhan kredit yang terus tergerus lantaran memang sejak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) permintaan kredit menjadi menurun, ini seiring pendapatan masyarakat yang ikut turun.
Nah, jika pendapatan turun, maka akan diikuti konsumsi dan daya beli yang ikut melemah. Akibatnya, korporasi atau pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kehilangan pendapatan karena permintaan yang menurun drastis. Lalu, mereka tidak berani untuk berutang kepada perbankan.
Meski pemerintah telah mendorong penyaluran kredit perbankan pada masyarakat, namun realisasinya tidak akan langsung dirasakan. Pertumbuhan kredit baru baik kembali sekitar 3-4 bulan. “Walaupun sudah dilonggarkan kreditnya tidak langsung mengalami kenaikan signifikan, ya pendapatan perbankan akan naik sekitar 3-4 bulan ke depan,” ucapnya.
Terpisah, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna mengatakan, ketika kondisi ekonomi sedang krisis, maka pertumbuhan kredit akan kontraksi minus.
“Kebijakan restrukturisasi kredit sudah tepat untuk menjaga risiko krisis keuangan dan utang. Namun, kebijakan insentif untuk masyarakat menengah ke bawah masih belum efektif. Begitu juga dengan kebijakan anggaran untuk sektor kesehatan yang tidak menjadi prioritas,” katanya, kemarin (23/7).
Atas kenyataan tersebut, maka Indonesia tidak akan bisa menghindar dari krisis yang semakin parah. “Kita tidak akan bisa menghindari krisis yang lebih dalam,” pungkasnya. (din/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: