Samarinda Toraja

Samarinda Toraja

Sang ayah tidak mempersoalkan lebih lanjut. Mungkin justru bangga di dalam dada. Setelah membeli mobil pun Arief masih punya kelebihan laba. Itu untuk modal membeli kopra lagi. Ia pun kembali ke Poso. Naik kapal lagi enam jam ke Una Una. Kembali dari Una Una yang kedua inilah Arif jatuh ke laut.

Ia trauma.

Itulah dagang kopra terakhir baginya. Kebetulan ia menemukan bisnis baru. Di umur 19 tahun. Yakni ketika Arief ke tempat temannya di Samarinda. Teman itu punya bengkel mobil. Di dekatnya ada orang ngelas. Arief merasa aneh kok ngelas tidak pakai karbit.

\"Orang asing tidak suka bau karbit,\" jawab tukang las itu.

Itulah untuk kali pertama Arief melihat ada orang ngelas tidak pakai karbit. Arif tertarik dengan pengetahuan baru itu. Ia banyak bertanya kepada tukang las itu. Termasuk dari mana mendapat gas untuk ngelas itu.

\"Ini barang impor,\" ujar tukang las itu.

Arief pun langsung melihat peluang: bikin bahan las itu di dalam negeri.

Ia sudah punya modal. Tapi tidak cukup. Ia ajak tiga teman sebayanya untuk kumpul-kumpul modal. Tidak juga cukup. Mereka sepakat mencari kredit bank.

Ayah Arief merestui tapi tidak mau gabung. Arief harus tanggung sendiri risiko masuk ke dunia industri. Sang ayah akan terus di sektor perdagangan.

Pabrik pun dibangun di Surabaya. Awalnya sulit diterima pasar. Sampai-sampai tiga temannya angkat tangan. Arief diminta mengembalikan modal mereka. Arief cari tambahan kredit jangka pendek.

Kebetulan seorang temannya di Gresik minta tolong: agar Arief mau membeli stok garamnya dengan harga murah sekali. Si teman lagi butuh uang. Garam itu akan dilepas dengan harga Rp 4/kg. Arief menggunakan sebagian uang kredit untuk menolong temannya itu.

\"Tiba-tiba harga garam naik menjadi Rp 90/kg. Kredit jangka pendek saya langsung lunas,\" katanya.

Akhirnya pabrik gas industri Arief berjalan lancar. Sudah 100 persen miliknya sendiri. Pabrik yang semula 2 hektare menjadi 20 hektare. Belum lagi pabriknya yang di banyak kota di Indonesia.

Singkatnya Arief menjadi yang terbesar di Indonesia. Merk dagang gasnya \"Samator\'\' —singkatan Samarinda-Toraja.

Saingan terberatnya saat itu adalah Aneka Gas —milik BUMN. Terutama setelah Aneka Gas dijual ke investor Jerman. Statusnya pun menjadi PMA. Samator harus bersaing dengan perusahaan asing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: