Melawan Feodalisme demi Kemanusiaan
Melawan Feodalisme demi Kemanusiaan-Instagram-radarcirebon
RADARCIREBON.COM - Warisan Feodalisme tampaknya belum benar-benar punah semenjak kemunculannya pada masa Kerajaan dan masa tuan tanah.
Kini ia telah bertranformasi, menyusup halus ke dalam kehidupan modern — di kantor, di lembaga pemerintahan, di sekolah, bahkan di dunia sosial kita sehari-hari.
Feodalisme tidak lagi mengenakan mahkota emas, tetapi telah berkamuplase dalam berbagai bentuk dan modus.
Di bawah bayang-bayang budaya feodal, kemanusiaan perlahan terkikis. Manusia tidak lagi dinilai dari kejujuran, kecerdasan, atau pengabdiannya, melainkan dari seberapa dekat ia dengan pusat kekuasaan.
Penghormatan bukan lahir dari ketulusan, melainkan dari rasa takut. Kata “patuh” lebih diagungkan daripada “adil”, dan “setia” lebih penting daripada “benar”. Padahal, hakikat manusia sejatinya adalah setara. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di hadapan nurani dan kebenaran.
BACA JUGA:Tragis! Jasad 1 Keluarga dalam 1 Kamar Korban Kebakaran Dipicu Krsleting Mobil Listrik
Feodalisme melahirkan mentalitas penjilat dan hipokrit, membuat orang lebih sibuk mencari muka daripada menegakkan kebenaran.
Kita sering melihat bagaimana suara jujur dan kritis dibungkam dengan alasan “etika, norma atau hukum”, bagaimana kritik dianggap ancaman, dan bagaimana kesetiaan pada atasan dijunjung lebih tinggi daripada kejujuran kepada rakyat. Di sinilah kemanusiaan mulai retak — ketika keadilan dikorbankan demi menjaga kenyamanan kekuasaan.
Lebih menyedihkan lagi, feodalisme menciptakan jurang yang dalam antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Sura rakyat kecil sering kali dianggap “kaleng rombeng”, sementara mereka yang memiliki jabatan diperlakukan seolah perkataannya sebagai “Wahyu”.
Ini bukan lagi penghormatan, tetapi perbudakan mental. Kita mungkin hidup di zaman modern, tetapi banyak yang masih berpikir dengan logika masa kerajaan: bahwa yang berada di atas selalu benar, dan yang di bawah harus diam.
BACA JUGA:5 Nyawa Melayang, Begini Kronologi Mobil Listrik Mengeluarkan Api saat Dicas Picu Kebakaran
Praktek Media Digital
Perwujudan feodalisme di era digital berkamuplase dalam ruang maya melalui narasi dan konstruksi sosial di media digital. Berbagai konten, unggahan, dan komentar di media sosial sering kali menormalisasi kekuasaan, mengagungkan figur tertentu, serta membangun budaya “pengkultusan” yang mirip dengan penghormatan berlebihan kepada kaum feodal di masa lalu.
Kekuasaan kini tidak hanya berada di tangan para penguasa politik atau ekonomi, tetapi juga dikuasai oleh algoritma dan influencer yang mampu membentuk opini publik. Dalam situasi ini, masyarakat tanpa sadar kembali hidup dalam sistem hierarkis—di mana suara yang populer lebih dianggap benar daripada yang kritis.
Feodalisme digital ini berbahaya, karena menciptakan ketimpangan baru: antara mereka yang memiliki kendali atas narasi dan mereka yang hanya menjadi pengikut tanpa daya berpikir kritis.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


