Lahan Hutan Kota Minim

Minggu 28-07-2013,15:47 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

KESAMBI– Hutan kota menjadi salah satu elemen wajib bagi setiap kota/kabupaten di Indonesia. Kementrian Lingkungan Hidup menetapkan minimal 20 persen dari luas wilayah. Hingga saat ini, hutan kota di Kota Cirebon jauh dari jumlah 20 persen dari luas wilayah yang mencapai sekitar 37,5 kilometer persegi. Penambahan hutan kota menjadi satu kewajiban bagi pemkot. Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon, mengelola dua hutan kota. Yakni, di belakang Terminal Harjamukti, dan hutan kota di jalur bantaran sungai Sukalila. Luas kedua hutan kota itu hanya 1.200 meter persegi. “Sangat jauh dari angka 20 persen dari total luas wilayah,” ujar Kepala Seksi Keindahan Kota Bidang Pertamanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon, Jaenal Aripin ST, kepada Radar, kemarin. Selain dua hutan kota itu, Kota Cirebon memiliki satu hutan kota lain yang dikelola DKP3 Kota Cirebon. Letaknya, di samping kantor Kecamatan Harjamukti dengan luas tiga sampai empat ribu meter persegi. Hutan kota di Kota Cirebon dianggap masih kurang. Secara ideal, aturan dari Kementrian Lingkungan Hidup mewajibkan minimal 20 persen dari luas wilayah. Saat ini, pihaknya memiliki kendala lokasi yang sulit ditemukan. Selain lokasi, biaya disebut menjadi kendala lainnya. Sebab, untuk melakukan pembebasan lahan tanah warga untuk hutan kota, diperlukan biaya yang tinggi dan prosedur yang tidak mudah. “Bisa jadi warga tidak mau menjualnya. Itu juga permasalahan yang harus dipecahkan,” ujar pria yang akan memasuki masa pensiun ini. Meskipun demikian, DKP dan instansi terkait lainnya bukan tanpa rencana. Di bawah koordinasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), DKP telah membuat master plan hutan kota baru. Dua tempat telah ditentukan menjadi hutan kota yang diharapkan menjadi paru-paru Kota Cirebon. Yaitu, Alun-alun Kejaksan dan lapangan di Krucuk. Saat ini, Lapangan Krucuk telah menjelma menjadi taman kota. Sementara, Alun-alun Kejaksaan hanya dilakukan penataan. “Kita perlu mencari alternatif lain menambah ruang hutan kota,” tukasnya. Diakui Jaenal, anggaran menjadi satu-satunya kendala terbesar bagi DKP dalam membuat hutan kota yang lebih representatif. Tidak menyerah, DKP mengusahakan dari berbagai dana, termasuk dana corporate social responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan untuk dialokasikan dalam membuat hutan kota. “Tahun 2013-2014, akan ada penambahan hutan kota atau taman kota,” cetusnya. Karena itu, kata dia, DKP akan melakukan koordinasi intensif dengan pengambil kebijakan terkait atau lintas sektoral instansi. Kepala Seksi Amdal dan Peningkatan Kantor Lingkungan Hidup (KLH), Abing Rijadi ST menekankan pentingnya penambahan hutan kota, taman kota atau ruang terbuka hijau (RTH). Berbagai cara dilakukan KLH untuk menambah area hijau. Diantaranya, menekankan kepada para pengembang properti maupun sejenisnya, untuk melaksanakan aturan minimal 30 persen dari seluruh bangunan yang digunakan sebagai RTH. “Banyak yang belum mentaati. Kami terus melakukan penyuluhan,” terangnya. Abing meyakini, bila pengembang properti mentaati itu, target 20 persen RTH dari total luas wilayah bisa tercapai. RTH menjadi salah satu syarat bagi Kota/Kabupaten di Indonesia. Karena, hutan kota dan sejeninya, kata Abing, menjadi paru-paru kota dalam menghasilkan oksigen bagi masyarakatnya. Dengan tingkat aktivitas yang tinggi, Kota Cirebon dipercaya memiliki tingkat populasi tinggi pula. Hal ini, akan berpengaruh pada tingkat kesehatan masyarakatnya. “Itu catatan penting. Kami terus berupaya,” ujar Abing. Langkah lainnya, KLH mewajibkan calon investor untuk mau memberikan lahan hijau di bangunannya. Selain itu, wajib menanam pohon untuk penambahan RTH.  (ysf)

Tags :
Kategori :

Terkait