PUN guru-guru kita. Pasti punya pengalaman unik selama mengajar di masa pandemi. Tapi, apa yang ditulis seorang guru, wanita, di Amerika ini bisa merangsang para guru kita untuk juga menuliskan pengalaman mereka.
Harian Disway pasti dengan senang hati memuatnya. Silakan menulis.
Guru di Amerika ini tidak mau mendominasi layar komputer. Dia sering membiarkan muridnya berinteraksi sesama murid.
Dia perlu memahami lebih banyak sifat dan watak semua muridnya. Yang hanya bisa dia kenal lewat wajah dan suara. Itu pun kalau sang murid mau menghidupkan kamera. Beberapa murid tidak mau meng-on-kan kamera. Juga tidak mau bicara. Sang guru begitu sulit mengetahui identitas karakter sang murid.
Yang seperti itu tentu tidak sampai terjadi kalau sekolah berjalan normal. Tapi, sejak pandemi, sekolah dilangsungkan secara online. Guru begitu sulit memahami kejiwaan para muridnya secara sempurna.
Mengapa sang guru tidak mau mewajibkan muridnya meng-on-kan kamera?
Sang guru khawatir akan menimbulkan masalah pribadi yang peka. Misalnya, si murid ternyata miskin. Ia akan merasa minder kalau bagian di rumahnya terlihat jelek di layar. Atau masalah sensitif lainnya. Misalnya, di kamar itu si murid berjejal dengan saudaranya.
Bahkan, bisa jadi si murid membuka laptop atau HP di toilet. Bukan karena lagi buang hajat, melainkan hanya itulah tempat yang tenang di rumahnya. Yang bisa terhindar dari keributan anggota keluarga lainnya.
Dari memberikan waktu chatting antar-murid itu, sang guru juga bisa tahu munculnya singkatan-singkatan baru. Yang belum ada sebelum pandemi. Misalnya, kini murid menulis Idk untuk mengatakan I don’t know. Atau ofc untuk of course. Dan hbu untuk how about you –bukan hay.
Yang juga baru bagi sang guru adalah begitu banyaknya emoji yang digunakan para siswa. Sang guru harus belajar memahami arti emoji untuk memperoleh arti ekspresi sebenarnya yang diinginkan siswa.
Sebelum pandemi, guru bisa memahami respons siswa dengan melihat ekspresi wajah anak didik. Atau memperhatikan gerak tubuh. Di kelas online, guru harus pandai memahami ekspresi siswa di balik emoji yang ditampilkan.
Sang guru menyadari salah satu fungsi sekolah sebagai ”tempat pelarian” bagi seorang anak. Terutama pelarian dari situasi yang menekan jiwanya di rumah.
Kini tempat pelarian itu tidak ada. Maka, sang guru harus bisa memerankan diri sebagai tempat pelarian tersebut.
Untuk itu, sang guru membuka diri seluas-luasnya untuk jadi tempat curhat. Termasuk melayani pertanyaan yang kelihatannya sangat sepele. Yang jawabannya juga harus sangat memuaskan. Yang sepele bagi sang guru bisa jadi amat penting bagi siswa yang tertekan.
Misalnya, tulis sang guru, ada siswa yang bertanya, ”Apakah sang guru punya binatang peliharaan?” Bahkan, ada siswa kelas I SMP yang berani memberikan saran agar sang guru mau memelihara spider plant –bunga laba-laba. Yang bisa menurunkan rasa stres sepanjang hari.