Saya pun mulai senam lagi. Sendirian. Di kamar. Sampai 10 lagu. Ada lagu barat Mambo No. 5, ada dangdut Iwak Peyek, ada Mandarin Xiao Ping Guo. Sudah dua hari saya senam. Tidak ada masalah. Seperti tidak sakit. Soal Covid yang masih positif itu dokter tahu, saya punya prinsip ikut saja apa kata dokter: ternyata dokter memutuskan jalan lain. Yakni tidak digelontor terus dengan obat anti Covid. Yang bisa membahayakan hati saya.
Saya bersyukur atas putusan itu. Tidak mengancam fungsi hati saya. Dokter lantas melakukan ini: transfusi konvalesen. Yakni memasukkan plasma darah yang sudah mengandung anti-Covid. Yakni plasma yang diambil dari penderita Covid yang sudah sembuh. Yang darahnya sudah mengandung imunitas Covid —dalam jumlah cukup.
Maka hari ke-7 di RS saya ditransfusi konvalesens. Sebanyak 200 cc. Jarak 24 jam kemudian ditransfusi lagi. Jumlah yang sama. Tidak ada perubahan rasa di badan. Sama saja. Saya tetap merasa fit. Dan tetap merasa fresh. Seperti hari-hari sebelumnya. Hasil pemeriksaan juga tetap selalu begitu. Suhu badan 36,6. Tekanan darah 126/70. Oksigen: 96. Detak jantung: 75. Pokoknya selalu di sekitar itu.
Sehari setelah transfusi konvalesens kedua, darah saya diperiksa: IgG 2800 reaktif. IgM 29 non-reaktif. Hasil IgG 2800 reaktif itu menunjukkan bahwa saya sudah punya kekebalan Covid. Jumlahnya pun lebih dari cukup. Sudah dua kali dari kebutuhan minimal 1.400.
Hasil IgM non-reaktif itu menandakan bahwa saya tidak punya kekebalan Covid yang berasal dari tubuh saya sendiri. Tetap saja badan saya tidak menghasilkan kekebalan. Mungkinkah itu karena selama 15 tahun terakhir saya selalu minum obat penurun kekebalan? Saya tidak mampu menjawab itu. Belum ada studinya.
Yang jelas, transfusi konvalesen itu ada hasilnya. Seseorang yang pernah terkena Covid telah menyumbangkan darahnya untuk saya. Yakni darah yang istimewa. Yang sudah mengandung kekebalan Covid-19. Apakah dengan demikian saya langsung menjadi negatif Covid? Belum tahu. Masih harus diswab lagi. Mungkin hari ini. Atau besok. (dahlan iskan)