JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per 1 Februari 2021 akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucher, kartu perdana dan token listrik.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Perhitungan dan Pemungutan PPN serta PPh atas Penyerahan atau Penghasilan. Beleid ini diteken oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, pada tanggal 22 Januari 2021.
“Untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa, perlu mengatur ketentuan mengenai penghitungan dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer,” demikian bunyi PMK Nomor 6/2021 seperti dikutip, pada Jumat (29/1).
Merespons aturan baru itu, ekonom dari INDEF Bhima Yudhistira menilai bahwa kebijakan tersebut kontraproduktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha di masa resesi akibat pandemi Covid-19 sekarang ini. Stimulus dikucurkan sebagai upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
“Pemerintah sendiri kan meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah sehingga membutuhkan banyak pulsa data atau nomor perdana. Karena itu, kebijakan ini dianggap beban baru bagi masyarakat,’’ katanya.
Lanjut Bhima, bahwa beban 10 persen tidak mungkin hanya ditanggung oleh pihak penyelenggara. Artinya, masyarakat atau konsumen nantinya akan dibebankan. Kondisi ini akan berpangaruh terhadap daya beli masyarakat yang saat ini masih tertekan.
“Artinya masyarakat harus dipaksa terus menggunakan internet atau telekomunikasi dan dengan kenaikan harga itu dia akan mengurangi pemakaian atau konsumsi barang-barang yang lain. Sehingga ini menjadi beban bagi masyarakat,” ujarnya.
Padahal, kata Bhima, di negara lain pemerintahannya besar-besaran memberi subsidi kepada rakyatnya. Sementara di Indonesia berbanding terbalik.
“Di negara lain pemerintahannya memberi subsidi kepada perusahaan telekomunikasi sehingga mereka bisa menambah jaringan untuk daerah terpencil dan terluar. Namun di negara kita justru yang dilakukan adalah kebalikannya,” ucapnya.
Menurut Bhima, kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
“Kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital dengan pemberlakukan PPN terhadap pembelian pulsa maupun voucer tersebut,” tuturnya.
Sebagai informasi, penerimaan pajak sepanjang 2020 tidak sesuai dengan target. Realisasi penerimaan pajak di tahun lalu hanya Rp1.070,0 triliun atau 89,3 persen dari target Rp1.198,8 triliun. Penerimaan pajak ini mengalami shotfall atau kurang Rp128,8 triliun. (din/fin)