Sering Merasa Hampa dan Self Harm? Kenali Tanda dan Gejala Gangguan Kepribadian Ambang

Sabtu 06-02-2021,12:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

GANGGUAN Kepribadian Ambang atau Borderline Personality Disorder (BPD) merupakan gangguan mental yang ditandai oleh hubungan tidak stabil dengan orang lain, emosi labil, dan rasa hampa. BPD seringkali ditemui pada remaja dan dewasa muda.

Penderita BPD biasanya mengalami gejala-gejala seperti disregulasi mood yang ditandai dengan impulsivitas, perilaku merusak diri sendiri hingga suicidal, kemarahan yang tidak wajar, mood yang labil, dan memiliki ide paranoid saat menghadapi stres.

Pada populasi umum terdapat 2% orang dengan BPD. Sebanyak 10% ditemukan pada pasien rawat jalan dan 20% pada pasien rawat inap. Sekitar 70% penderita BPD melakukan perilaku merusak diri sendiri dan sebanyak 8% hingga 10% meninggal akibat bunuh diri.

BPD merupakan kondisi yang tidak banyak diketahui atau disadari oleh orang yang mengalaminya maupun lingkungan terdekatnya. Orang dengan BPD akan mengalami keadaan yang sangat tidak nyaman karena emosinya tidak stabil, mudah berganti dalam hitungan menit, jam, atau hari.

Orang dengan BPD membutuhkan bantuan segera karena seringkali melakukan tindakan menyakiti atau membahayakan diri sendiri (self harm). Self harm dilakukan seseorang untuk mengatasi rasa sakit secara emosional dengan cara melukai dirinya sendiri, dilakukan dengan sengaja tapi tidak untuk tujuan bunuh diri. Self harm biasa dilakukan sebagai bentuk dari pelampiasan atau penyaluran emosi yang terlalu menyakitkan untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Selian BPD, self harm kadang-kadang juga dikaitkan dengan beberapa gangguan jiwa lainnya (misalnya gangguan depresi, cemas, dan psikotik). Self harm berkaitan dengan riwayat trauma dan kekerasan di masa lalu, gangguan makan, atau biasanya dapat ditemui pada seseorang dengan ciri kepribadian tertentu seperti memiliki kepercayaan diri yang rendah. Terdapat korelasi statistik yang positif antara self harm dan riwayat kekerasan emosional.

Self harm sebagian besar terjadi pada remaja dengan onset usia rata-rata 14-16 tahun, tetapi seseorang dapat memulai perilaku self harm di masa kanak-kanak atau masa dewasa. Secara umum, studi menunjukkan bahwa sekitar 13-25% remaja dan dewasa muda memiliki pengalaman self harm.

2

Perilaku self harm merupakan suatu hal yang dirahasiakan oleh orang yang melakukannya. Mereka tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dirinya pernah melakukan self harm dengan alasan rasa malu dan takut atas anggapan orang lain yang menilai dirinya bodoh serta takut orang-orang di sekitarnya akan menjauhi dirinya.

Pada masa pandemi Covid-19 saat ini juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap para pengidap BPD. Emosinya jadi negatif, sering kaget, takut, cemas, curiga, kecewa karena keinginan-keinginannya banyak tidak terpenuhi karena tidak boleh kemana-mana. Dengan begitu perilakunya pun terpengaruh sehingga tidak lagi mudah beradaptasi dengan lingkungan hingga muncul keluhan.

Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti faktor penyebab gangguan kepribadian ini. Para ahli psikologi masih menafsirkan penyebab gangguan kepribadian ini dari beberapa faktor seperti biologi, psikologi, dan sosial.

Secara psikodinamik, pengidap BPD biasanya mengalami problem pemisahan atau ditinggalkan sejak usia dini. Kemudian kurangnya kelekatan yang aman dengan pengasuh seperti orang tua atau kerabat lain, organisasi self yang buruk, dan trauma masa kanak-kanak.

Lingkungan tempat seorang anak tumbuh kembang juga bisa menjadi faktor pemicu dialaminya kondisi stres yang kemudian membangkitkan faktor biologis dan psikologis. Pengaruh lingkungan sosial ini bisa diamati sejak anak terjun ke lingkungan sekolah pada usia balita hingga remaja.

Lalu bagaimana kita membantu pengidap BPD? Langkah utama yang harus dilakukan tentunya dengan melakukan terapi. Psikoterapi menjadi kunci utama dalam penanganan pengidap BPD. Selain itu, BPD juga memiliki faktor biologi yang artinya terapi obat juga sangat diperlukan agar bisa menstabilkan kondisi fungsi otak yang terganggu.

Terapi yang ideal adalah kombinasi psikoterapi dengan terapi obat. Obat yang dipilih tergantung dari kondisi klinis pasien. Bila mood pasien sangat naik turun, kita boleh menggunakan mood stabilizer. (*)

Oleh : dr Dina Riana Sukma SpKJ

Tags :
Kategori :

Terkait