Pasal Pencemaran Nama Baik Dinilai Meresahkan

Sabtu 20-03-2021,02:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

JAKARTA-Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengenai pencemaran nama baik sangat meresahkan masyarakat. Karenanya memang sudah sangat layak untk direvisi.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward OS Hiariej dalam pernyataannya mengakui jika pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai pencemaran nama baik memunculkan keresahan di masyarakat. Karena adanya multitafsir antara kritik dan pencemaran nama baik.

“Terjadi multitafsir atau distorsi antara penyampaian kritik dan pencemaran nama baik sehingga terjadi saling lapor,\" katanya, Kamis (18/3).

Dikatakannya, awal UU ITE dirumuskan bertujuan untuk mencegah terjadinya perbuatan yang merugikan orang lain di dunia maya. Mulai dari peretasan, hingga penyebaran hoaks atau berita bohong.

Dia menilai, pelanggaran hukum di dunia nyata, saat ini memungkinkan terjadi secara virtual. “Karenanya UU (ITE) ini diperlukan. Sebab kegiatan di ruang cyber tidak dapat didekati dengan ukuran hukum konvensional saja. Kalau ini ditempuh (dengan hukum konvensional) maka banyak yang lolos dan kesulitan dalam pemberlakuan hukum,” terangnya.

Kemudian, muncul gagasan di DPR untuk memasukkan pencegahan tindakan pelanggaran hukum lain di dunia maya yang salah satunya bisa mencakup masalah penghinaan atau pencemaran nama baik. Sehingga muncul-lah Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 dalam UU ITE.

Bagi Eddy, tiga pasal itu sangat multitafsir. Sebab tidak memenuhi syarat utama dalam asas legalitas. Salah satu azas legalitas berbunyi tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang jelas. “Apakah Pasal 27, 28, dan Pasal 29 jelas? Tidak, tidak jelas,” ungkapnya.

2

Dicontohkannya, dalam UU ITE, penjelasan mengenai Pasal 27 sekadar disebutkan bahwa unsur penghinaan yang dimaksud adalah sebagaimana Pasal 310 KUHP tentang penistaan dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah.

Hal ini jelas berbeda dengan saat pembentukan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebab ketika mengadopsi sejumlah kejahatan jabatan dari KUHP, pasal-pasal sepenuhnya diambil dan ditulis ulang di UU tersebut.

Dampaknya, Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur pencemaran nama baik sering diprotes masyarakat. “Argumentasi yang kerap muncul adalah karena kriteria dan unsur perbuatan yang tidak jelas dan multitafsir,” terangnya.

Karenanya, ia berharap para pakar, praktisi, atau masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan kepada tim kajian yang memiliki tugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal tertentu dalam UU ITE yang dianggap menimbulkan multitafsir.

Terhadap pasal yang multitafsir, Presiden Joko Widodo akan mengajak DPR melakukan revisi UU ITE. “Berbicara revisi UU kan tidak semudah membalik telapak tangan. Membutuhkan proses paling tidak dua sampai tiga bulan karena setelah ada pembahasan masih berhadapan dengan DPR, muncul daftar inventarisasi masalah, baru kemudian akan dibahas lalu disahkan,” katanya. (gw/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait