PEMERINTAH disarankan tidak mengeluarkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana yang diwacanakan oleh Kemenkeu untuk diberlakukan tahun 2022. Pasalnya, kenaikan PPN disebut kontraproduktif dengan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Bahkan kebijakan itu disebut bakal menurunkan potensi pendapatan negara.
Hal itu disampaikan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, dikutip Rabu (12/5).
“Jadi tarif itu dinaikkan terus menerus bahkan melebihi titik optimal, akan justru menurunkan pendapatan atau penerimaan secara agregat,” kata Heri.
Ia menjelaskan, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi. Hal itu akan memperberat kemampuan daya beli masyarakat karena harga jual produk pasti akan naik. Kondisi itu akan semakin berat jika pandemi masih berlangsung hingga tahun depan.
Sementara itu, ketika daya beli turun masyarakat akan cenderung menahan laju konsumsi dan membuat permintaan barang dan jasa akan turun. Jika ini terjadi, sudah tentu akan berdampak pada sektor usaha yaitu penurunan utilisasi.
“Jika pendapatan masyarakat turun maka konsumsi turun dan akan menghambat pemulihan ekonomi paska pandemi. Kalau pemulihan ekonomi terhambat, tentu saja pendapatan negara tak kunjung optimal,” katanya.
Disisi lain, jika PPN naik menjadi single tarif maka industri akan memerlukan modal kerja tambahan. Sementara pihak perbankan juga berencana menurunkan plafon kredit bagi beberapa industri.
Menurut Heri, ketika sumber tambahan modal kerja turun, sudah tentu industri akan mengalami kesulitan untuk memperoleh modal kerja dan semakin terhambat dalam melakukan ekspansi untuk produksi, karena biaya semakin tinggi.
“Sulitnya perolehan modal kerja akan semakin menekan utilisasi industri maka dengan rendahnya utilisasi industri maka kenaikan PPN tidak akan berikan manfaat bagi pemerintah,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Heri menyarankan pemerintah untuk lebih memperluas basis pajak PPN dengan menjaring Wajib Pajak (WP) baru dan bukan justru menaikkan tarifnya.
“Dicoba untuk menjaring WP baru salah satunya dengan menertibkan ritel non Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan fasilitas non PKP,” katanya.
Menurut Heri, penertiban itu harus dilakukan mengingat banyak pengusaha kelas menengah dan bawah yang menyiasati agar dapat menggunakan fasilitas non PKP, contohnya dengan membagi perusahaan menjadi beberapa CV, namun pemilik masih sama agar mereka mendapat fasilitas non PKP.
“Ambang batas PKP dinaikkan jadi Rp4,8 miliar tadinya Rp600 juta. Jika itu dikembalikan lagi dari Rp4,8 miliar diturunkan menjadi lebih rendah, maka akan lebih banyak terjaring WP baru yang seharusnya mampu jadi PKP tapi karena disiasati jadi banyak kecolongan,” pungkasnya. (git/fin)