RENCANA pemerintah menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12-15 persen pada 2022 dinilai kurang tepat ditengah kondisi pandemi seperti sekarang ini. Jika kebijakan itu tetap dipaksakan, maka hampir hal itu bisa berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia.
“Inflasi tercipta karena PPN akan mempengaruhi harga akhir di tangan konsumen. Otomoatis, kenaikan tarif PPN akan menimbulkan dampak ekonomi, seperti memicu harga barang-barang naik di tengah pemulihan ekonomi. Pada akhirnya, akan memukul daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah,” kata Ekonom Indef Bhima Yudistira di Jakarta, Sabtu (22/5/2021).
Dampak lainnya, kata Bhima, bakal menurunnya daya beli masyarakat pada sektor ritel, karena naiknya harga bisa menyebabkan merosotnya omzet. Bahkan, potensi gulung tikar bisa saja terjadi.
“Padahal sektor ritel juga berkaitan dengan sektor lain seperti logistik, pertanian, hingga industri manufaktur. Serapan tenaga kerja juga diperkirakan terpengaruh oleh kebijakan penyesuaian PPN,” ujarnya.
Anehnya lagi, Menurut Bhima, ketika di tengah pandemi negara-negara seperti Jerman, Inggris, dan Irlandia menurunkan kebijikan PPN, justru yang teradi di Indonesia malah menaikan. Padahal, penurunan tarif PPN atau VAT selama pandemi dianggap efektif mempercepat pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga.
“Pemerintah harusnya mengkaji secara dalam ketimbang insentif penurunan PPH badan dan PPNBM mobil, lebih efektif menurunkan tarif PPN, bukan malah menaikkannya,” terangnya.
Pada prinsipnya, Bhima mengaku tidak setuju tarif PPN dinaikkan untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, masih banyak opsi lain untuk menaikkan penerimaan negara.
“Salah satunya lewat evaluasi belanja pajak khususnya yang diberikan ke korporasi, hingga pajak lebih besar terhadap harta kekayaan kelompok 20 persen pengeluaran paling atas. Kalau penyesuaian tarif PPN terlalu berisiko bagi seluruh sektor ekonomi,” pungkasnya. (der/fin)