IKATAN Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyayangkan penghapusan daftar bebas pajak atas barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, sebagaimana termaktub dalam pasal 4a draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Artinya, sembako dan beberapa jenis kebutuhan pokok akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Dari awal kami menolak kebutuhan pokok seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, umbi-umbian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi harus mendapatkan PPN atau dipajaki,” ujar Ketua Bidang Infokom DPP IKAPPI, Muhammad Ainun Najib dalam keterangannya, Rabu (15/9).
Sembako dan jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak dikenai PPN sendiri sebenarnya sudah diatur dalam peraturan menteri keuangan No.116/Pmk.010/2017. Namun dalam draft RUU KUP tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengubah dan menghapus beberapa komoditas.
IKAPPI, kata Ainun, sudah bertemu dengan beberapa pejabat Kementerian Keuangan dan sudah menjelaskan, termasuk Dirjen Pajak, Stafsus Menteri dan beberapa Direktur. IKAPPI sudah menjelaskan alur distribusi barang dan potensi kenaikan harga pangan jika kebijakan ini tetap dilakukan.
“Namun beberapa hari yang lalu Menteri (Keuangan) sudah menyampaikan kepada DPR bahwa tetap akan melangsungkan penghapusan Non PPN pada pasal 4a draft RUU KUP tersebut,” ungkapnya.
Ainun pun kembali mengingatkan kepada Menteri Keuangan agar mengkaji kembali kebijakan tersebut dan merumuskan ulang langkah-langkah apa yang harus diambil serta spesifikasi beberapa kebutuhan pokok yang memang dianggap perlu untuk diberikan PPN dan tidak disamaratakan semua. Sebab menurutnya beberapa komoditas yang masuk dalam poin pengenaan pajak tersebut masih belum selesai dalam perbaikan distribusi dan produksi.
“Dalam catatan IKAPPI tanpa dikenai PPN dan pajak saja komoditas-komoditas pangan di indonesia masih carut marut dan sering mengalami fluktuasi harga. jika ditambah PPN maka akan menambah beban dari hulu sampai hilir. Kami sekali lagi berharap agar pemerintah dan DPR mengkaji ulang kebijakan ini dan merumuskannya pada peraturan Menteri Keuangan bukan pada draft UU atau UU yang akan diputuskan nanti,” pungkasnya. (fin)