Sukirman pun tiap hari diambil darahnya. Tidak takut lagi. Atau terpaksa. ”Rumah sakitnya memang sederhana. Kamar operasinya juga kecil. Tapi, alatnya lengkap,” ujar sang istri, yang di sana dipanggil dengan nama Vijei. Namanya sendiri: Hafizah.
Intinya: transplan berjalan lancar. ”Seberapa banyak hati Anda dipotong untuk suami?” tanya saya.
”60 persen,” jawab Vijei. Setelah hati Vijei diambil 60 persen itu, hari kedua sudah disuruh latihan duduk. Hari ketiga latihan jalan. Dalam tiga bulan hati Vijei yang tinggal 40 persen itu sudah kembali utuh.
Begitulah hati. Anda sudah tahu. Satu-satunya organ yang bisa tumbuh. Mereka pun pulang ke Batam. Hanya tiga bulan di sana: 1,5 bulan sebelum operasi dan 1,5 bulan setelah transplan.
Begitu pulang, Sukirman mengontak saya. Diskusi untuk pascaoperasi. Lewat telepon –keburu pandemi masuk Indonesia. Baru kemarin Sukirman-Vijei ke rumah saya. Sekalian saya ajak olahraga.
Selama di India, Vijei teringat almamaternya: Universitas Andalas. Harusnya Unand lebih mampu daripada India. Negara itu benar-benar mengusik hati Vijei: bagaimana bisa India yang seperti itu mampu melaksanakan transplantasi hati. ”Saya lihat pasiennya ada yang dari Iran dan Kanada,” ujar Vijei.
Itulah bedanya, kalau yang transplan seorang dokter. Dia langsung memikirkan agar ada kerja sama antara Fakultas Kedokteran (FK) Unand dan RS di India itu.
Selama di sana, Vijei pun melakukan pembicaraan kerja sama tersebut. Sebenarnya mereka sudah siap menerima delegasi dari Unand. Pihak Unand pun sudah menyiapkan tim yang akan berangkat. Sekalian langsung menyaksikan jalannya operasi di sana. Namun, pandemi keburu tiba.
Harus lebih sabar. Sukirman sendiri lahir di desa lereng gunung: Tumpang, Malang Timur. Ayahnya buruh tani. Anaknya 10 orang. Semua sarjana –kecuali satu wanita yang keburu dilamar orang. Hanya satu yang dokter: Sukirman.
”Saya kuliah di kedokteran karena dipaksa kakak,” ujar Sukirman. Sang kakaklah yang membiayai kuliah.
Begitulah di keluarga itu: kakak yang sudah bekerja membiayai adik. Itulah sebabnya nyaris semua anak buruh tani tersebut jadi sarjana.
”Waktu pertama praktik ambil darah, saya pingsan,” ujar Sukirman mengenang saat menjadi mahasiswa.
Vijei juga satu-satunya dokter di antara empat saudaranya. Ayahnya punya bengkel kecil. Ibunya guru.
Begitu lulus, Vijei ditempatkan di pulau terpencil: Karimun. Dia empat tahun di sana. Dia aktif di kegiatan sosial. Termasuk jadi panitia operasi katarak gratis. Begitu aktifnya di pengurusan katarak, akhirnya Vijei ditawari untuk mengambil Spesialis Mata.
Vijei sebenarnya enggan. Dia bertekad di Karimun saja. Di situ dia sering dibayar pasien dengan dolar Singapura. Memang banyak warga negara tetangga itu ke Karimun. Kuliner. Atau rekreasi lainnya.