YAHYA artinya hidup. Atau kehidupan; memberi hidup. Nama belakangnya yang saya tidak tahu artinya —sebelum saya tahu seperti apa tulisan Arabnya.
Saya pun menelepon Ustadz Yusuf Mansyur. Agar menuliskan nama belakang Ketua Umum PB NU yang baru itu dalam huruf Arab. Beliau tidak tahu pasti yang mana. Bisa jadi yang ini: ثَقُف. Atau yang ini: ثَقُوف.
Bacaannya, Anda sudah tahu, sama: tsaquf. Yang pertama pakai satu \'u, yang kedua pakai dua \'u.
Yang pertama berarti pendidik. Yang kedua bisa diartikan berbudaya atau berwawasan. Tapi, masalahnya nama belakang Gus Yahya itu ditulis Staquf. Bukan Tsaquf. Itulah yang membuat saya harus bertanya seperti apa tulisan Arabnya.
Sebagai orang yang pernah sekolah di Madrasah Tsanawiyah saya hanya tahu huruf pertama nama belakang Gus Yahya itu mestinya ditulis Ts, bukan St.
Tapi ini kan soal nama. Bukan soal bahasa. Terserah saja mau ditulis seperti apa. Bahkan tulisan di akta seperti itu kadang suka-suka pengurus kampung: mau ditulis seperti apa. Baru di zaman belakangan orang peduli ejaan nama anak masing-masing.
Di desa, di Jawa dulu, waktu saya kecil, kami tidak peduli dengan ucapan mana yang paling benar. Misalnya ketika belajar mengeja huruf Arab. Huruf bertama dibaca alip —bukan alif.
Huruf kedua, ketiga dan keempat, semua dibaca sama: \'sak —tidak perlu mengubah-ubah posisi lidah. Demikian juga huruf \"ain\", kami baca dengan bunyi \"ngain\". Alimin jadi Ngalimin. Alamin jadi ngalamin.
Pun sampai saya remaja masih seperti itu. Kebiasaan itu pula yang terbawa sampai dewasa. Akibatnya, ketika belajar bahasa Inggris dan Mandarin saya terbiasa kurang peduli dengan konsonan: time saya baca taim —bukan thaim. 他 saya baca \'ta —harusnya tha (da).
Lalu bagaimana cara mengucapkan nama belakang Gus Yahya itu? Diucapkan \"Staquf\" seperti orang mengucapkan kata \'stasiun? Atau diucapkan \"Sakuf\" —seperti orang desa saya membaca huruf Arab?
“Sejak dulu kami mengucapkannya seperti mengeja kata stasiun,\" ujar Arif Afandi, mantan Pemred Jawa Pos dan mantan Wakil Wali Kota Surabaya. Kini menjadi guest editor di Harian Disway.
Arif satu angkatan dengan Gus Yahya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Juga satu angkatan ketika sama-sama menjadi pengurus HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) komisariat Fisipol UGM. Arif jadi ketua.
Gus Yahya jadi sekretaris. Pun di kepengurusan organisasi mahasiswa Fisipol: BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa). Arif ketuanya, Gus Yahya sekretarisnya.
Dua-duanya dari keluarga NU —tapi memilih aktif di organisasi yang di masa lalu lebih dekat ke Masyumi. Arif dari Blitar, Gus Yahya dari Rembang —cucu kiai besar di sana dan keponakan Gus Mus.